Ganbatte!!

"Ikatlah ilmu dengan menulis." #Ali bin Abi Thalib

Senin, 10 Juni 2013

Relasi Kuasa Pada Tokoh Pria dan Wanita Dalam WIFE OF BATH’S TALE Karya Geoffrey Chaucer



Pendahuluan
Gagasan postrukturalisme dan selain dijadikan sebagai wacana, dalam ilmu sastra ia merupakan piranti baca dan identifikasi relasi-relasi kuasa dalam suatu teks. Dalam tulisan ini digunakan setidaknya pandangan Foucault untuk melihat relasi kuasa dalam puisi “The Wife of Bath's Tale” karya Geoffrey Chaucer. The Wife of Bath's Tale (WOB) adalah salah satu dari kisah dalam The Canterbury Tales.
WOB berkisah mengenai ksatria di istana Raja Arthur yang memperkosa seorang perempuan di ladang gandum. Menurut hukum, ia harus dihukum mati, namun sang ratu menjadi penengah, dan menghukum sang ksatria dengan menyuruhnya pergi mencari jawaban dari pertanyaan "apa yang paling diinginkan oleh perempuan?". Sang ratu memberikannya waktu satu tahun untuk menemukannya. Jika ia gagal untuk memuaskan ratu dengan jawabannya, sang ksatria akan mati. Ia mencari, namun setiap perempuan yang ia temui menyatakan hal-hal yang berbeda, dari kekayaan hingga pujian. Satu tahun kemudian, dalam perjalanannya kembali, ia bertemu dengan seorang perempuan tua. Perempuan itu berkata akan memberi tahu jawaban dari pertanyaan tersebut jika sang ksatria berjanji melakukan apapun yang diinginkan oleh perempuan itu. Sang ksatria setuju, lalu mereka kembali ke istana. Ia menjawab di depan ratu bahwa apa yang paling diinginkan oleh perempuan adalah kekuasaan terhadap suami mereka, dan ratu menerima jawaban tersebut sebagai jawaban yang benar. Sebagai hadiah, perempuan tua itu meminta sang ksatria menikahinya. Ia menentang, namun tidak dapat menghindar, dan pernikahan berlangsung pada hari berikutnya. Pada malam pertama, sang ksatria menyatakan ia tidak senang karena perempuan itu jelek dan berasal dari keluarga golongan rendah. Perempuan itu berkata bahwa ksatria itu dapat memilih, agar ia tetap jelek dan setia, atau cantik tetapi tidak setia. Sang Ksatria memberikan pilihan kepada istrinya. Merasa senang karena memperoleh kekuasaan atas suaminya, perempuan itu menjadi cantik dan setia, dan hidup bahagia bersama suaminya.
Relasi kuasa yang ada dalam puisi ini akan dianalisa menggunakan pendekatan menurut Foucault. Michel Foucault termasuk pengkritik peradaban modern. Baginya peradaban modern telah menciptakan bentuk dominasi baru melalui kekuasaan dan pengetahuan (Best, 1991: 34-35). Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh Nietzche yang mengatakan bahwa “keinginan untuk kebenaran dan pengetahuan (will to truth and knowledge) tak bisa dipisahkan dari keinginan untuk berkuasa”.
Analisis Foucault terhadap kekuasaan cukup penting mengingat pembantahannya tentang segala sesuatu yang absolut. Kekuasaan bagi Foucault (dalam Yusuf, 2009: 21) bukan sesuatu yang sudah ada begitu saja. Kekuasaan adalah relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu. Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran serta menjaga kebenaran tersebut. Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan melainkan di dalam. Kekuasaan adalah kebenaran itu sendiri.
Kekuasaan itu ada di mana-mana, bagi Foucault (dalam Sarup, 2008: 123-124), dan tercipta setiap saat. Di mana ada afirmasi kekuasaan maka di sana ada resistensi. Dalam pemahaman Foucault, kekuasaan sosial memiliki pengaruh yang cukup besar dan manusia hanyalah manifestasi dari jaringan kekuasaan kausal yang eksternal. Kekuasaan akhirnya bersifat imanen dalam setiap hubungan sosial. Semua hubungan sosial adalah hubungan kekuasaan, bagi Foucault.
            Dalam analisis penokohan, salah satu unsur yang menrik untuk dilihat lebih dalam adalah relasi kuasa di antara tokoh pria dan wanita. Seringkali hubungan antargender ini bersifat berat sebelah karena kuasa dipegang oleh salah satu pihak sementara pihak yang lain berada dalam posisi subordinat. Dalam karya sastra berbahasa Inggris kanon[1], biasanya tokoh pria lebih dominan.
            Namun, hal tersebut di atas sepertinya tidak berlaku pada puisi naratif WOB karya Geoffrey Chaucer. Relasi kuasa yang ditampilkan antara tokoh pria dan wanita dalam karya ini memperlihatkan bahwa tokoh wanita lah yang memiliki superioritas terhadap tokoh prianya. Hal ini justru menarik karena bukan penggambaran yang lazim dan mainstream pada masa itu.

Relasi Kuasa Antara Tokoh Pria dan Wanita dalam Wife of Bath’s Tale
Puisi WOB merupakan salah satu narasi yang bercerita tentang perjuangan kekuasaan antara tokoh-tokohnya dan tentang siapa yang memiliki kekuasaan dalam sebuah hubungan. Relasi kuasa antara tokoh pria dan wanita yang terbentuk dalam narasi dimulai ketika ksatria dengan kekuatan fisiknya memperkosa seorang gadis perawan di ladang gandum.
He saw a maiden walking before him,
Of which maiden straightway, despite all she could do,
By utter force, he took away her maidenhead;
                                    (Wife of Bath’s Tale, 886-888)

Sang gadis lantas tidak berdiam diri atas tindakan ksatria yang telah merenggut kehormatannya. Dia melapor kepada raja Arthur sehingga ksatria dipanggil untuk menjalani persidangan untuk menentukan hukuman yang pantas baginya. Pada masa ini, ksatria tidak memiliki kuasa apapun untuk menolak perintah sang raja. Ketika raja menjatuhkan hukuman mati kepada ksatria, sang ratu mengintervensi dan mencoba menjadi penengah atas kasus ini. Sang raja pun mengiyakan permintaan ini karena landasan hubungan kasih-sayang mereka.
Sang ratu pun memberikan kesempatan kepada ksatria untuk menebus kesalahannya dengan dibiarkan hidup jika ia bisa menjawab pertanyaan sang ratu: “apa yang paling diingankan oleh wanita?”. Sang ksatria diberi waktu satu tahun untuk mencari jawaban tersebut. Jika jawaban yang diberikan nantinya tidak memuaskan, maka sang ratu akan memenggal kepala ksatria. Di sini, kuasa sudah berubah posisi dari tokoh pria (ksatria) kepada tokoh wanita (ratu).
I grant thee life, if thou canst tell me
What thing it is that women most desire.
Beware, and keep thy neck-bone from iron (axe)!
And if thou canst not tell it right now,
Yet I will give thee leave to go
A twelvemonth and a day, to seek to learn
A satisfactory answer in this matter;
                                                            (Wife of Bath’s Tale, 904-910)
Selama masa pencarian 12 bulan itu, ksatria tidak menemukan jawaban yang memuaskan hingga pada akhirnya ia bertemu dengan seorang wanita tua di hutan. Si wanita tua menawarkan sebuah jawaban atas pertanyaan ksatria jika ia bersedia melakukan apapun baginya. Ksatria yang merasa tidak berdaya karena waktunya sudah semakin dekat menerima tawaran ini dan kembali ke istana menghadap sang ratu. Di hadapan ratu dan orang-orang istana, ksatria menjawab bahwa yang paling diingankan oleh wanita adalah kuasa atas kekasih/suami mereka.
“My liege lady, without exception, “he said,
“Women desire to have sovereignty
As well over her husband as her love,
And to be in mastery above him.
This is your greatest desire, though you kill me.
Do as you please; I am here subject to your will.”
                                                            (Wife of Bath’s Tale, 1037-1042)
Para hadirin yang berada di sana termasuk sang ratu tidak dapat membantah jawaban ksatria. Sang ratu pun akhirnya mengampuni ksatria dengan membiarkannya hidup. Tiba-tiba, wanita tua yang telah memberikan jawaban di hutan datang ke tengah audiens dan menagih janji agar ksatria mau menikahi dirinya. Ksatria pun dengan tegas menolak karena tidak tertarik dengan wanita jelek, tua dan miskin. Namun, sang ratu yang berkuasa memerintahkan agar ksatria menepati janjinya kepada wanita tua tersebut. Di sini, ksatria sekali lagi tidak berdaya atas kuasa sang ratu dan melangsungkan pernikahan malamnya.
“I know right well that such was my promise.
For God's love, choose a new request!
Take all my goods and let my body go.”
                                                            (Wife of Bath’s Tale, 1059-1061)
Di malam pertama mereka, ksatria menolak untuk bercinta dengan istrinya yang seorang wanita tua. Setelah beradu argumen, si wanita tua memberikan pilihan kepada ksatria bahwa (1) ia tetap jelek dan setia, atau (2) cantik tetapi tidak setia.
“Choose now,” she said, one of these two things:
To have me ugly and old until I die,
And be to you a true, humble wife,
And never displease you in all my life,
Or else you will have me young and fair,
And take your chances of the crowd
That shall be at your house because of me,
Or in some other place, as it may well be.
                                                                        (Wife of Bath’s Tale, 1219-1226)
            Ksatria yang bingung dengan dua pilihan ini akhirnya pasrah dan memberikan kembali pilihan itu kepada sang istri. Wanita tua yang puas dengan sikap suaminya karena merasa berkuasa akhirnya menggoda ksatria:
“Then have I gotten mastery of you,” she said,
“Since I may choose and govern as I please?”
“Yes, certainly, wife,” he said, “I consider it best.”
                                                                        (Wife of Bath’s Tale, 1236-1238)
Merasa senang karena memperoleh kekuasaan atas suaminya, wanita tua itu menjadi cantik dan setia, dan hidup bahagia bersama suaminya setelah menyuruh ksatria untuk menciumnya.

Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, cerita ini ingin menyampaikan pesan bahwa para istri merindukan apa yang setiap wanita inginkan dalam suatu hubungan, yaitu kekuasaan atas kekasih mereka. Dalam WOB, relasi kuasa yang terjadi antara tokoh pria dan wanita berubah-ubah dengan berjalannya narasi. Di bagian awal, tokoh pria (ksatria) berkuasa atas tokoh wanita (gadis perawan). Setelah itu, tokoh wanita lah (ratu dan wanita tua) yang lebih dominan dan berkuasa terhadap tokoh prianya (ksatria).
Di akhir cerita WOB, penulis dapat melihat bahwa kekuasaan itu pada akhirnya kembali lagi kepada tokoh pria (ksatria) karena mendapatkan apa yang dia inginkan, seorang wanita muda yang cantik dan setia.
Geoffrey Chaucer sebagai pengarang sepertinya ingin memberikan sebuah pandangan feminis pada masanya melalui karya WOB ini. Superioritas laki-laki atas perempuan di Inggris pada abad pertengahan memang merupakan suatu hal yang lumrah pada masa itu. Lewat WOB Chaucer ingin mengkritik pandangan orang-orang bahwa wanita dapat sama cerdas dan berkuasanya atas laki-laki.



Daftar Pustaka:

Best, Steven & Kellner, Douglas. 1991. Postmodern Theory: Critical Interrogations. The Guilford Press: New York
Chaucer, Geoffrey. 2005. The Canterbury Tales. Penguin Classics: London
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik sastra feminis: sebuah pengantar. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme. Jalasutra: Jogjakarta
Yusuf, Akhyar. 2009. Politik Pengetahuan, Episteme, dan Kematian Manusia: Refleksi Pemikiran Posmodernisme Michel Foucault. Materi Kuliah Pascasarjana: FIB UI




[1] Kanon adalah istilah untuk menyebut sejumlah karya sastra “yang sudah diterima dan dipelajari dari generasi ke genrasi secara tradisional”. (Djajanegara, 200: 17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar