Pendahuluan
Gagasan postrukturalisme dan selain dijadikan sebagai
wacana, dalam ilmu sastra ia merupakan piranti baca dan identifikasi
relasi-relasi kuasa dalam suatu teks. Dalam tulisan ini digunakan setidaknya
pandangan Foucault untuk melihat relasi kuasa dalam puisi “The Wife of Bath's Tale” karya Geoffrey Chaucer. The Wife of Bath's Tale (WOB) adalah
salah satu dari kisah dalam The
Canterbury Tales.
WOB berkisah mengenai ksatria di istana Raja Arthur yang
memperkosa seorang perempuan di ladang gandum. Menurut hukum, ia harus dihukum
mati, namun sang ratu menjadi penengah, dan menghukum sang ksatria dengan
menyuruhnya pergi mencari jawaban dari pertanyaan "apa yang paling
diinginkan oleh perempuan?". Sang ratu memberikannya waktu satu tahun
untuk menemukannya. Jika ia gagal untuk memuaskan ratu dengan jawabannya, sang
ksatria akan mati. Ia mencari, namun setiap perempuan yang ia temui menyatakan
hal-hal yang berbeda, dari kekayaan hingga pujian. Satu tahun kemudian, dalam
perjalanannya kembali, ia bertemu dengan seorang perempuan tua. Perempuan itu
berkata akan memberi tahu jawaban dari pertanyaan tersebut jika sang ksatria
berjanji melakukan apapun yang diinginkan oleh perempuan itu. Sang ksatria
setuju, lalu mereka kembali ke istana. Ia menjawab di depan ratu bahwa apa yang
paling diinginkan oleh perempuan adalah kekuasaan
terhadap suami mereka, dan ratu menerima jawaban tersebut sebagai jawaban
yang benar. Sebagai hadiah, perempuan tua itu meminta sang ksatria menikahinya.
Ia menentang, namun tidak dapat menghindar, dan pernikahan berlangsung pada
hari berikutnya. Pada malam pertama, sang ksatria menyatakan ia tidak senang
karena perempuan itu jelek dan berasal dari keluarga golongan rendah. Perempuan
itu berkata bahwa ksatria itu dapat memilih, agar ia tetap jelek dan setia,
atau cantik tetapi tidak setia. Sang Ksatria memberikan pilihan kepada
istrinya. Merasa senang karena memperoleh kekuasaan atas suaminya, perempuan
itu menjadi cantik dan setia, dan hidup bahagia bersama suaminya.
Relasi kuasa yang ada dalam puisi ini akan dianalisa
menggunakan pendekatan menurut Foucault. Michel Foucault termasuk pengkritik
peradaban modern. Baginya peradaban modern telah menciptakan bentuk dominasi
baru melalui kekuasaan dan pengetahuan (Best, 1991: 34-35). Pemikiran ini
sangat dipengaruhi oleh Nietzche yang mengatakan bahwa “keinginan untuk
kebenaran dan pengetahuan (will to truth
and knowledge) tak bisa dipisahkan dari keinginan untuk berkuasa”.
Analisis Foucault terhadap kekuasaan cukup penting
mengingat pembantahannya tentang segala sesuatu yang absolut. Kekuasaan bagi
Foucault (dalam Yusuf, 2009: 21) bukan sesuatu yang sudah ada begitu saja.
Kekuasaan adalah relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.
Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan
relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran serta
menjaga kebenaran tersebut. Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan melainkan
di dalam. Kekuasaan adalah kebenaran itu sendiri.
Kekuasaan itu ada di mana-mana, bagi Foucault (dalam
Sarup, 2008: 123-124), dan tercipta setiap saat. Di mana ada afirmasi kekuasaan
maka di sana ada resistensi. Dalam pemahaman Foucault, kekuasaan sosial
memiliki pengaruh yang cukup besar dan manusia hanyalah manifestasi dari
jaringan kekuasaan kausal yang eksternal. Kekuasaan akhirnya bersifat imanen
dalam setiap hubungan sosial. Semua hubungan sosial adalah hubungan kekuasaan,
bagi Foucault.
Dalam
analisis penokohan, salah satu unsur yang menrik untuk dilihat lebih dalam
adalah relasi kuasa di antara tokoh pria dan wanita. Seringkali hubungan
antargender ini bersifat berat sebelah karena kuasa dipegang oleh salah satu
pihak sementara pihak yang lain berada dalam posisi subordinat. Dalam karya
sastra berbahasa Inggris kanon[1], biasanya
tokoh pria lebih dominan.
Namun,
hal tersebut di atas sepertinya tidak berlaku pada puisi naratif WOB karya Geoffrey
Chaucer. Relasi kuasa yang ditampilkan antara tokoh pria dan wanita dalam karya
ini memperlihatkan bahwa tokoh wanita lah yang memiliki superioritas terhadap
tokoh prianya. Hal ini justru menarik karena bukan penggambaran yang lazim dan mainstream pada masa itu.
Relasi Kuasa Antara
Tokoh Pria dan Wanita dalam Wife of Bath’s
Tale
Puisi WOB merupakan salah satu narasi yang bercerita tentang
perjuangan kekuasaan antara tokoh-tokohnya dan tentang siapa yang memiliki kekuasaan
dalam sebuah hubungan. Relasi kuasa antara tokoh pria dan wanita yang terbentuk
dalam narasi dimulai ketika ksatria dengan kekuatan fisiknya memperkosa seorang
gadis perawan di ladang gandum.
He saw a maiden walking before him,
Of which maiden straightway, despite all she could do,
By utter force, he took away her maidenhead;
(Wife of Bath’s Tale, 886-888)
Sang gadis lantas tidak berdiam diri atas tindakan
ksatria yang telah merenggut kehormatannya. Dia melapor kepada raja Arthur
sehingga ksatria dipanggil untuk menjalani persidangan untuk menentukan hukuman
yang pantas baginya. Pada masa ini, ksatria tidak memiliki kuasa apapun untuk
menolak perintah sang raja. Ketika raja menjatuhkan hukuman mati kepada
ksatria, sang ratu mengintervensi dan mencoba menjadi penengah atas kasus ini. Sang
raja pun mengiyakan permintaan ini karena landasan hubungan kasih-sayang mereka.
Sang ratu pun memberikan kesempatan kepada ksatria untuk
menebus kesalahannya dengan dibiarkan hidup jika ia bisa menjawab pertanyaan
sang ratu: “apa yang paling diingankan oleh wanita?”. Sang ksatria diberi waktu
satu tahun untuk mencari jawaban tersebut. Jika jawaban yang diberikan nantinya
tidak memuaskan, maka sang ratu akan memenggal kepala ksatria. Di sini, kuasa
sudah berubah posisi dari tokoh pria (ksatria) kepada tokoh wanita (ratu).
I grant thee life, if thou canst tell me
What thing it is that women most desire.
Beware, and keep thy neck-bone from iron (axe)!
And if thou canst not tell it right now,
Yet I will give thee leave to go
A twelvemonth and a day, to seek to learn
A satisfactory answer in this matter;
(Wife
of Bath’s Tale, 904-910)
Selama masa pencarian 12 bulan itu, ksatria tidak
menemukan jawaban yang memuaskan hingga pada akhirnya ia bertemu dengan seorang
wanita tua di hutan. Si wanita tua menawarkan sebuah jawaban atas pertanyaan
ksatria jika ia bersedia melakukan apapun baginya. Ksatria yang merasa tidak
berdaya karena waktunya sudah semakin dekat menerima tawaran ini dan kembali ke
istana menghadap sang ratu. Di hadapan ratu dan orang-orang istana, ksatria
menjawab bahwa yang paling diingankan oleh wanita adalah kuasa atas kekasih/suami
mereka.
“My liege lady, without exception, “he said,
“Women desire to have sovereignty
As well over her husband as her love,
And to be in mastery above him.
This is your greatest desire, though you kill me.
Do as you please; I am here subject to your will.”
(Wife
of Bath’s Tale, 1037-1042)
Para hadirin yang berada di sana termasuk sang ratu tidak
dapat membantah jawaban ksatria. Sang ratu pun akhirnya mengampuni ksatria
dengan membiarkannya hidup. Tiba-tiba, wanita tua yang telah memberikan jawaban
di hutan datang ke tengah audiens dan menagih janji agar ksatria mau menikahi
dirinya. Ksatria pun dengan tegas menolak karena tidak tertarik dengan wanita
jelek, tua dan miskin. Namun, sang ratu yang berkuasa memerintahkan agar
ksatria menepati janjinya kepada wanita tua tersebut. Di sini, ksatria sekali
lagi tidak berdaya atas kuasa sang ratu dan melangsungkan pernikahan malamnya.
“I know right well that such was my promise.
For God's love, choose a new request!
Take all my goods and let my body go.”
(Wife
of Bath’s Tale, 1059-1061)
Di malam pertama mereka, ksatria menolak untuk bercinta
dengan istrinya yang seorang wanita tua. Setelah beradu argumen, si wanita tua
memberikan pilihan kepada ksatria bahwa (1) ia tetap jelek dan setia, atau (2) cantik
tetapi tidak setia.
“Choose now,” she said, one of these two things:
To have me ugly and old until I die,
And be to you a true, humble wife,
And never displease you in all my life,
Or else you will have me young and fair,
And take your chances of the crowd
That shall be at your house because of me,
Or in some other place, as it may well be.
(Wife of Bath’s Tale, 1219-1226)
Ksatria yang
bingung dengan dua pilihan ini akhirnya pasrah dan memberikan kembali pilihan
itu kepada sang istri. Wanita tua yang puas dengan sikap suaminya karena merasa
berkuasa akhirnya menggoda ksatria:
“Then have I gotten mastery of you,” she said,
“Since I may choose and govern as I please?”
“Yes, certainly, wife,” he said, “I consider it best.”
(Wife of Bath’s Tale, 1236-1238)
Merasa senang karena memperoleh kekuasaan atas suaminya, wanita
tua itu menjadi cantik dan setia, dan hidup bahagia bersama suaminya setelah
menyuruh ksatria untuk menciumnya.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, cerita ini ingin menyampaikan pesan
bahwa para istri merindukan apa yang setiap wanita inginkan dalam suatu
hubungan, yaitu kekuasaan atas kekasih mereka. Dalam WOB, relasi kuasa yang
terjadi antara tokoh pria dan wanita berubah-ubah dengan berjalannya narasi. Di
bagian awal, tokoh pria (ksatria) berkuasa atas tokoh wanita (gadis perawan). Setelah
itu, tokoh wanita lah (ratu dan wanita tua) yang lebih dominan dan berkuasa
terhadap tokoh prianya (ksatria).
Di akhir cerita WOB, penulis dapat melihat bahwa
kekuasaan itu pada akhirnya kembali lagi kepada tokoh pria (ksatria) karena
mendapatkan apa yang dia inginkan, seorang wanita muda yang cantik dan setia.
Geoffrey Chaucer sebagai pengarang sepertinya ingin
memberikan sebuah pandangan feminis pada masanya melalui karya WOB ini. Superioritas
laki-laki atas perempuan di Inggris pada abad pertengahan memang merupakan
suatu hal yang lumrah pada masa itu. Lewat WOB Chaucer ingin mengkritik
pandangan orang-orang bahwa wanita dapat sama cerdas dan berkuasanya atas
laki-laki.
Daftar Pustaka:
Best, Steven & Kellner,
Douglas. 1991. Postmodern Theory:
Critical Interrogations. The Guilford Press: New York
Chaucer, Geoffrey. 2005.
The Canterbury Tales. Penguin Classics: London
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik sastra feminis: sebuah pengantar.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Sarup, Madan. 2008.
Postrukturalisme & Posmodernisme.
Jalasutra: Jogjakarta
Yusuf, Akhyar. 2009. Politik Pengetahuan, Episteme, dan Kematian
Manusia: Refleksi Pemikiran Posmodernisme Michel Foucault. Materi Kuliah
Pascasarjana: FIB UI
[1] Kanon adalah istilah untuk menyebut sejumlah karya sastra
“yang sudah diterima dan dipelajari dari generasi ke genrasi secara tradisional”.
(Djajanegara, 200: 17)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar