ABSTRAK
Sebagai wacana
sastra sufi, konteks penyampaian makna dari Gurindam Dua Belas sebenarnya telah
disampaikan secara eksplisit oleh sang penyair, Raja Ali Haji. Akan tetapi, siratan
pesan murni terkadang perlu disampaikan dengan memahami makna teks (semantik),
baik secara sintaksis ataupun pragmatis. Pemaknaan yang digunakan dalam gurindam
ini ialah pemaknaan semantik secara
kontekstual dan referensial. Fokus pembahasan yakni pada hasil analisis Gurindam
Dua Belas karya Raja Ali Haji dengan menggunakan pendekatan semantik.
Kata
Kunci : semantik, gurindam dua belas,
kontekstual & refensial
“Ah, cinta selalu saja
misterius.
Jangan diburu-buru,
atau kau akan merusak jalan
ceritanya sendiri.”
(Tere Liye, novel "Kau, Aku & Sepucuk Angpau
Merah")
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan sastra
sufi sekarang ini tidak sepesat sastra. Padahal banyak sekali ilmu hikmah yang
bisa dipelajari dan diambil untuk perbekalan manusia dalam menjalani kehidupan
yang penuh cobaan. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk menerapkan pendekatan
semantik dalam menganalisis gurindam yang bertema religius untuk turut
mengembangkan studi sastra dan kesusastraan Indonesia. Meskipun teori semantik
dewasa ini mulai dianggap pendekatan sastra yang ‘usang’ karena adanya
pendekatan-pendekatan posmodern seperti analisis wacana dan dekonstruksi
Derrida, namun manfaatnya untuk membongkar makna karya tidak pernah pudar.
Gurindam termasuk
ke dalam puisi lama yang banyak terdapat dalam masyarakat Melayu Indonesia.
Gurindam yang terkenal adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji
(1809-1872). Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (Pulau Penyengat, Kepulauan
Riau, 1808-1873) adalah ulama, sejarawan, pujangga, dan terutama pencatat
pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang
menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres
Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia.
Beliau merupakan
keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari
Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis. Kompleks makam
beliau di pulau Penyengat, Tanjung Pinang. Gurindam Dua Belas (1847), menjadi
pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa,
yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama
merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara.
Raji Ali Haji hanya
meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan
hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah
fi Intizam (hukum dan politik). Beliau juga aktif sebagai penasihat
kerajaan. Beliau ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan
nasional pada 5 November tahun 2004.
Gurindam secara
sederhana memiliki arti sebagai sebuah puisi. Gurindam Dua Belas adalah
sekumpulan syair yang diciptakan oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Kedua belas
pasal Gurindam Dua Belas berisi nasihat tentang agama, budi pekerti,
pendidikan, moral, dan tingkah laku. Pasal I dan II memberi nasihat tentang
agama (religius). Gurindam ini dinamakan Gurindam Dua Belas karena gurindam
tersebut terdiri dari dua belas pasal. Hampir semua lariknya mempunyai rima
yang sama dalam satu bait.
Mengenai
sebab-sebab Raja Ali Haji menciptakan gurindam adalah sebagai mas kawin yang
diberikan kepada Engku Puteri Hamidah yang tinggal di Pulau Penyengat. Mas
kawin ini dipahatkan di batu marmer sebagai bukti rasa cintanya.
Dalam kata-kata
yang termaktub di gurindam tersebut sangat kental sekali nuansa keislaman,
dikarenakan gurindam tersebut memang berisi wejangan maupun nasehat yang sangat
berguna dan bersifat universal bagi masyarakat, khususnya masyarakat dimana
Raja Ali Haji itu tinggal, yaitu masyarakat Melayu. Hal ini dimungkinkan karena
dominannya unsur Islam dalam kehidupan bermasyarakat di kebudayaan Melayu
sebagai dampak dari lancarnya proses Islamisasi di wilayah tersebut, khususnya
kepulauan Riau.
Lampiran
Gurindam Dua Belas
Pasal
I
Barang
siapa tiada memegang agama,
sekali-kali
tiada boleh dibilangkan nama.
Barang
siapa mengenal yang empat,
maka
ia itulah orang ma'rifat
Barang
siapa mengenal Allah,
suruh
dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang
siapa mengenal diri,
maka
telah mengenal akan Tuhan yang bahari.
Barang
siapa mengenal dunia,
tahulah
ia barang yang terpedaya.
Barang
siapa mengenal akhirat,
tahulah
ia dunia mudarat.
Pasal
II
Barang
siapa mengenal yang tersebut,
tahulah
ia makna takut.
Barang
siapa meninggalkan sembahyang,
seperti
rumah tiada bertiang.
Barang
siapa meninggalkan puasa,
tidaklah
mendapat dua temasya.
Barang
siapa meninggalkan zakat,
tiadalah
hartanya beroleh berkat.
Barang
siapa meninggalkan haji,
tiadalah
ia menyempurnakan janji.
BAB II
PEMBAHASAN
MAKNA
PASAL I dan II
Pasal Pertama (I) Gurindam Dua
Belas
Makna yang terkandung dalam
Pasal Pertama
Tema:
Nasihat tentang agama (religius)
Barang
siapa tiada memegang agama
sekali-kali
tiada boleh dibilang nama
Maksudnya adalah
setiap manusia harus memiliki agama karena agama sangat penting bagi kehidupan
manusia. Orang yang tidak beragama akan buta petunjuk arah dalam menjalankan
hidupnya.
Barang
siapa mengenal yang empat
maka
yaitulah orang yang ma’rifat
Untuk mencapai
kesempurnaan di dalam menjalani hidup, manusia harus mengenal empat zat yang
menjadikan manusia pada awal mulanya. Keempat zat tersebut adalah syari’at, tarikat, hakikat dan makrifat.
Barang
siapa mengenal Allah SWT
suruh
dan tegaknya tiada ia menyalah
Orang yang mengenal
Allah SWT harus berusaha melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya,
serta tidak akan melanggar aturanNya.
Barang
siapa mengenal diri
maka
telah mengenal akan Tuhan yang bahri
Orang yang tidak
beragama (Islam) tidak akan memiliki identitas diri secara hakiki dan tidak
akan dekat dengan Allah SWT.
Barang
siapa mengenal dunia
tahulah
ia barang yang terpedaya
Kita dapat
mengetahui kebesaran Allah lewat ayat-ayat dan tanda-tanda kebesaran Allah. Semua
yang Allah ciptakan, dunia beserta isinya hanya sebuah kefanaan yang tidak
abadi. Manusia yang berorientasi pada kebahagiaan atau hanya mencari
kebahagiaan di dunia saja, maka sebenarnya ia telah tertipu dan akan menyadarinya
bahwa dunia itu hanya sesaat.
Barang
siapa mengenal akhirat
tahulah
ia dunia mudharat
Di dunia ini manusia
hanya hidup sesaat. Setelah wafat, maka setiap manusia akan dimintakan
pertanggung jawabannya di akhirat kelak.
Pasal pertama Gurindam
Dua Belas adalah bagian yang paling mendasar. Kata agama dan ma’rifat
merupakan kata kunci (larik 1 dan 2). Kata agama
berarti ‘aturan’ atau ‘landasan’. Kata ma’rifat
berasal dari tasawuf yang berarti ‘mengenal Tuhan dengan hati’.
Konsep ma’rifat dalam Gurindam Dua Belas adalah
mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat (larik 3 dan 4). Mengenal Allah adalah
melaksanakan suruhan dan perintah-Nya, yaitu “tidak menyalah” yang bermakna ‘pasrah’ (larik 3 dan 4). Mengenal
diri disamakan dengan mengenal Tuhan (larik 7 dan 8). Artinya, langkah awal
mengenal Tuhan adalah terlebih dahulu mengenal diri sendiri. Manusia adalah
bagian alam dan alam adalah tanda eksistensi Tuhan. Kemudian pada larik 9 dan 10
kata dunia disamakan dengan “barang yang
terpedaya”. Dunia berarti ‘sesuatu yang tak berarti’. Dalam hal ini akhirat
dikontraskan dengan dunia. Dunia adalah mudarat
(larik 11 dan 12). Mudarat berarti ‘kerugian’ atau ‘tak berguna’. Gambaran
tentang dunia adalah sama dengan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam mendekatkan
diri kepada Tuhan, pengembara mengabaikan kehidupan kematerian. Cinta pada
materi akan menghambat perjalanan menuju Tuhan. Cinta kepada Tuhan lebih utama.
Gambaran masalah itu terdapat pada kutipan pasal 2 berikut.
Pasal Kedua (II) Gurindam Dua
Belas
Makna Yang Terkandung dalam
Pasal Kedua
Tema:
Nasihat tentang akibat orang-orang yang lalai melakukan sembahyang, puasa,
zakat, dan Haji
Barang
siapa mengenal yang tersebut
tahulah
ia makna takut
Semakin seseorang
dekat dan mengetahui tentang agamanya, maka akan semakin takutlah manusia
tersebut dan ingin menjalani segala perintahNya yang wajib dilaksanakan.
Barang
siapa meninggalkan sembahyang
seperti
rumah tiada bertiang
Orang yang tidak sholat
itu ibarat rumah yang tidak mempunyai tiang. Shalat itu merupakan pedoman hidup
sekaligus tiang agama seperti sabda Rasulullah saw.
Barang
siapa meninggalkan puasa
tidaklah
mendapat dua termasa
Orang yang
meninggalkan ibadah puasa akan kehilangan dua masa, yakni dunia dan akhirat.
Sudah tentu, mereka akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.
Barang
siapa meninggalkan zakat
tiadalah
hartanya beroleh berkat
Harta dari orang
yang tidak membayar zakat tidak diridhai oleh Allah dan tidak akan mendapat
berkah. Untung-untung jika semasa di dunianya si manusia masih bisa merasa
senang walaupun tidak memberikan sebagian hartanya, maka itu karena Allah masih
berbaik hati kepada manusia.
Barang
siapa meninggalkan haji
tiadalah
ia menyempurnakan janji
Orang yang tidak
naik haji (apalagi jika ia mampu secara material dan fisik) tidak akan pernah
menyempurnakan janjinya sebagai orang Islam.
Dalam teks di atas
terlihat bahwa orang yang tidak sembahyang
diumpamakan dengan rumah tidak bertiang (larik 15 dan 16). Tiang merupakan
komponen dasar yang membuat bangun rumah berdiri tegak. Orang yang tidak
berpuasa dianggap tidak mendapat dua termasa
atau tamasya (larik 17 dan 18). Tamasya berarti ‘kenikmatan‘. Dua tamasya
berarti ‘dua kenikmatan‘, yaitu kenikmatan beribadah di dunia dan kenikmatan
akhirat (pahala). Dalam hal ini terjadi metafora puasa dengan kenikmatan. Puasa sama dengan kenikmatan. Metafora
yang sama terdapat pada kata zakat
dan berkat (larik 19 dan 20), haji dan janji (larik 21 dan 22). Harta yang tidak dizakatkan tidak akan
mendapat berkat. Zakat adalah berkat. Haji adalah rukun Islam yang terakhir.
Sebagai salah satu rukun Islam, haji harus dilaksanakan oleh muslim yang telah
memenuhi persyaratan. Upaya untuk memenuhi persyaratan itu diibaratkan sebuah
janji.
BAB III
PENUTUP
Pada kesimpulannya,
dapat dikatakan bahwa Gurindam Dua Belas pasal I dan II adalah sebuah representasi
sastra sufi. Gurindam Dua Belas berisi ajaran tasawuf untuk mencapai tauhid
sejati. Seseorang dapat mencapai ma’rifat
jika mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat. Pemikiran tasawuf Raja Ali Haji
termasuk dalam tasawuf transendentalis. Melalui Gurindam Dua Belas, penyair
ingin menyampaikan ajaran tasawuf yang bersumber dari ajaran agama yang benar kepada
pembaca dan penguasa. Para pembaca dan penguasa diharapkan dapat menghayati
diri dan hidupnya dalam menuju kehidupan akhirat. Akhirat hanya dapat dipahami
oleh orang yang hatinya terbuka pada kebenaran Ilahi.
Pada masa modern,
ajaran tasawuf dalam Gurindam Dua Belas dapat bermakna ajaran moral sebagai
sarana pembebasan manusia dari belenggu nafsu dirinya. Manusia modern pada
umumnya terbelenggu oleh kekuasaan dirinya akan dunia. Mereka lupa bahwa masih
ada kekuatan lain, yang maha dahsat, yaitu Tuhan. Ajaran moral ini dapat
bermanfaat bagi semua umat manusia yang hidup di era globalisasi.
Gurindam Dua Belas secara
keseluruhan adalah salah satu karya puisi Raja Ali Haji yang diciptakan dengan
sungguh-sungguh dan ingin memperlihatkan kepeloporannya dalam meningkatkan
kualitas bahasa Melayu menjadi bahasa modern. Kepeloporan itu merupakan salah
satu sumbangan yang bernilai tinggi dalam menumbuhkembangkan bahasa Melayu
yang kemudian menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Bertolak dari kenyataan
itu, kita tidak ragu lagi untuk menyatakan bahwa Raja Ali Haji adalah seorang
pejuang dalam bidang Bahasa dan Sastra Melayu di Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar