Ganbatte!!

"Ikatlah ilmu dengan menulis." #Ali bin Abi Thalib

Senin, 04 Maret 2013

Analisis Semantik Gurindam 12 Pasal I Dan II Karya Raja Ali Haji




ABSTRAK
         
Sebagai wacana sastra sufi, konteks penyampaian makna dari Gurindam Dua Belas sebenarnya telah disampaikan secara eksplisit oleh sang penyair, Raja Ali Haji. Akan tetapi, siratan pesan murni terkadang perlu disampaikan dengan memahami makna teks (semantik), baik secara sintaksis ataupun pragmatis. Pemaknaan yang digunakan dalam gurindam ini ialah pemaknaan semantik secara kontekstual dan referensial. Fokus pembahasan yakni pada hasil analisis Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji dengan menggunakan pendekatan semantik.

Kata Kunci : semantik, gurindam dua belas, kontekstual & refensial

“Ah, cinta selalu saja misterius.
Jangan diburu-buru,
atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.”
(Tere Liye, novel "Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah")



BAB I
PENDAHULUAN


Perkembangan sastra sufi sekarang ini tidak sepesat sastra. Padahal banyak sekali ilmu hikmah yang bisa dipelajari dan diambil untuk perbekalan manusia dalam menjalani kehidupan yang penuh cobaan. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk menerapkan pendekatan semantik dalam menganalisis gurindam yang bertema religius untuk turut mengembangkan studi sastra dan kesusastraan Indonesia. Meskipun teori semantik dewasa ini mulai dianggap pendekatan sastra yang ‘usang’ karena adanya pendekatan-pendekatan posmodern seperti analisis wacana dan dekonstruksi Derrida, namun manfaatnya untuk membongkar makna karya tidak pernah pudar.
Gurindam termasuk ke dalam puisi lama yang banyak terdapat dalam masyarakat Melayu Indonesia. Gurindam yang terkenal adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji (1809-1872). Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, 1808-1873) adalah ulama, sejarawan, pujangga, dan terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Beliau merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis. Kompleks makam beliau di pulau Penyengat, Tanjung Pinang. Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara.
Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Beliau juga aktif sebagai penasihat kerajaan. Beliau ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November tahun 2004.
Gurindam secara sederhana memiliki arti sebagai sebuah puisi. Gurindam Dua Belas adalah sekumpulan syair yang diciptakan oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Kedua belas pasal Gurindam Dua Belas berisi nasihat tentang agama, budi pekerti, pendidikan, moral, dan tingkah laku. Pasal I dan II memberi nasihat tentang agama (religius). Gurindam ini dinamakan Gurindam Dua Belas karena gurindam tersebut terdiri dari dua belas pasal. Hampir semua lariknya mempunyai rima yang sama dalam satu bait.
Mengenai sebab-sebab Raja Ali Haji menciptakan gurindam adalah sebagai mas kawin yang diberikan kepada Engku Puteri Hamidah yang tinggal di Pulau Penyengat. Mas kawin ini dipahatkan di batu marmer sebagai bukti rasa cintanya.
Dalam kata-kata yang termaktub di gurindam tersebut sangat kental sekali nuansa keislaman, dikarenakan gurindam tersebut memang berisi wejangan maupun nasehat yang sangat berguna dan bersifat universal bagi masyarakat, khususnya masyarakat dimana Raja Ali Haji itu tinggal, yaitu masyarakat Melayu. Hal ini dimungkinkan karena dominannya unsur Islam dalam kehidupan bermasyarakat di kebudayaan Melayu sebagai dampak dari lancarnya proses Islamisasi di wilayah tersebut, khususnya kepulauan Riau.

Lampiran

Gurindam Dua Belas

Pasal I

Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.

Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang ma'rifat

Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.

Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.

Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terpedaya.

Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat.

Pasal II

Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut.

Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tiada bertiang.

Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua temasya.

Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat.

Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.


BAB  II
PEMBAHASAN

MAKNA PASAL I dan II

Pasal Pertama (I) Gurindam Dua Belas
Makna yang terkandung dalam Pasal Pertama

Tema: Nasihat tentang agama (religius)

Barang siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilang nama

Maksudnya adalah setiap manusia harus memiliki agama karena agama sangat penting bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak beragama akan buta petunjuk arah dalam menjalankan hidupnya.

Barang siapa mengenal yang empat
maka yaitulah orang yang ma’rifat

Untuk mencapai kesempurnaan di dalam menjalani hidup, manusia harus mengenal empat zat yang menjadikan manusia pada awal mulanya. Keempat zat tersebut adalah syari’at, tarikat, hakikat dan makrifat.

Barang siapa mengenal Allah SWT
suruh dan tegaknya tiada ia menyalah

Orang yang mengenal Allah SWT harus berusaha melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, serta tidak akan melanggar aturanNya.

Barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri

Orang yang tidak beragama (Islam) tidak akan memiliki identitas diri secara hakiki dan tidak akan dekat dengan Allah SWT.

Barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terpedaya

Kita dapat mengetahui kebesaran Allah lewat ayat-ayat dan tanda-tanda kebesaran Allah. Semua yang Allah ciptakan, dunia beserta isinya hanya sebuah kefanaan yang tidak abadi. Manusia yang berorientasi pada kebahagiaan atau hanya mencari kebahagiaan di dunia saja, maka sebenarnya ia telah tertipu dan akan menyadarinya bahwa dunia itu hanya sesaat.

Barang siapa mengenal akhirat
tahulah ia dunia mudharat

Di dunia ini manusia hanya hidup sesaat. Setelah wafat, maka setiap manusia akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat kelak.

Pasal pertama Gurindam Dua Belas adalah bagian yang paling mendasar. Kata agama dan ma’rifat merupakan kata kunci (larik 1 dan 2). Kata agama berarti ‘aturan’ atau ‘landasan’. Kata ma’rifat berasal dari tasawuf yang berarti ‘mengenal Tuhan dengan hati’.
Konsep ma’rifat dalam Gurindam Dua Belas adalah mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat (larik 3 dan 4). Mengenal Allah adalah melaksanakan suruhan dan perintah-Nya, yaitu “tidak menyalah” yang bermakna ‘pasrah’ (larik 3 dan 4). Mengenal diri disamakan dengan mengenal Tuhan (larik 7 dan 8). Artinya, langkah awal mengenal Tuhan adalah terlebih dahulu mengenal diri sendiri. Manusia adalah bagian alam dan alam adalah tanda eksistensi Tuhan. Kemudian pada larik 9 dan 10 kata dunia disamakan dengan “barang yang terpedaya”. Dunia berarti ‘sesuatu yang tak berarti’. Dalam hal ini akhirat dikontraskan dengan dunia. Dunia adalah mudarat (larik 11 dan 12). Mudarat berarti ‘kerugian’ atau ‘tak berguna’. Gambaran tentang dunia adalah sama dengan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, pengembara mengabaikan kehidupan kematerian. Cinta pada materi akan menghambat perjalanan menuju Tuhan. Cinta kepada Tuhan lebih utama. Gambaran masalah itu terdapat pada kutipan pasal 2 berikut.


Pasal Kedua (II) Gurindam Dua Belas
Makna Yang Terkandung dalam Pasal Kedua

Tema: Nasihat tentang akibat orang-orang yang lalai melakukan sembahyang, puasa, zakat, dan Haji

Barang siapa mengenal yang tersebut
tahulah ia makna takut

Semakin seseorang dekat dan mengetahui tentang agamanya, maka akan semakin takutlah manusia tersebut dan ingin menjalani segala perintahNya yang wajib dilaksanakan.

Barang siapa meninggalkan sembahyang
seperti rumah tiada bertiang

Orang yang tidak sholat itu ibarat rumah yang tidak mempunyai tiang. Shalat itu merupakan pedoman hidup sekaligus tiang agama seperti sabda Rasulullah saw.

Barang siapa meninggalkan puasa
tidaklah mendapat dua termasa

Orang yang meninggalkan ibadah puasa akan kehilangan dua masa, yakni dunia dan akhirat. Sudah tentu, mereka akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.

Barang siapa meninggalkan zakat
tiadalah hartanya beroleh berkat

Harta dari orang yang tidak membayar zakat tidak diridhai oleh Allah dan tidak akan mendapat berkah. Untung-untung jika semasa di dunianya si manusia masih bisa merasa senang walaupun tidak memberikan sebagian hartanya, maka itu karena Allah masih berbaik hati kepada manusia.

Barang siapa meninggalkan haji
tiadalah ia menyempurnakan janji

Orang yang tidak naik haji (apalagi jika ia mampu secara material dan fisik) tidak akan pernah menyempurnakan janjinya sebagai orang Islam.

Dalam teks di atas terlihat bahwa orang yang tidak sembahyang diumpamakan dengan rumah tidak bertiang (larik 15 dan 16). Tiang merupakan komponen dasar yang membuat bangun rumah berdiri tegak. Orang yang tidak berpuasa dianggap tidak mendapat dua termasa atau tamasya (larik 17 dan 18). Tamasya berarti ‘kenikmatan‘. Dua tamasya berarti ‘dua kenikmatan‘, yaitu kenikmatan beribadah di dunia dan kenikmatan akhirat (pahala). Dalam hal ini terjadi metafora puasa dengan kenikmatan. Puasa sama dengan kenikmatan. Metafora yang sama terdapat pada kata zakat dan berkat (larik 19 dan 20), haji dan janji (larik 21 dan 22). Harta yang tidak dizakatkan tidak akan mendapat berkat. Zakat adalah berkat. Haji adalah rukun Islam yang terakhir. Sebagai salah satu rukun Islam, haji harus dilaksanakan oleh muslim yang telah memenuhi persyaratan. Upaya untuk memenuhi persyaratan itu diibaratkan sebuah janji.


BAB  III
PENUTUP


Pada kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa Gurindam Dua Belas pasal I dan II adalah sebuah representasi sastra sufi. Gurindam Dua Belas berisi ajaran tasawuf untuk mencapai tauhid sejati. Seseorang dapat mencapai ma’rifat jika mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat. Pemikiran tasawuf Raja Ali Haji termasuk dalam tasawuf transendentalis. Melalui Gurindam Dua Belas, penyair ingin menyampaikan ajaran tasawuf yang bersumber dari ajaran agama yang benar kepada pembaca dan penguasa. Para pembaca dan penguasa diharapkan dapat menghayati diri dan hidupnya dalam menuju kehidupan akhirat. Akhirat hanya dapat dipahami oleh orang yang hatinya terbuka pada kebenaran Ilahi.
Pada masa modern, ajaran tasawuf dalam Gurindam Dua Belas dapat bermakna ajaran moral sebagai sarana pembebasan manusia dari belenggu nafsu dirinya. Manusia modern pada umumnya terbelenggu oleh kekuasaan dirinya akan dunia. Mereka lupa bahwa masih ada kekuatan lain, yang maha dahsat, yaitu Tuhan. Ajaran moral ini dapat bermanfaat bagi semua umat manusia yang hidup di era globalisasi.
Gurindam Dua Belas secara keseluruhan adalah salah satu karya puisi Raja Ali Haji yang diciptakan dengan sungguh-sungguh dan ingin memperlihatkan kepeloporannya dalam meningkatkan kualitas bahasa Melayu menjadi bahasa modern. Kepeloporan itu merupakan salah satu sumbangan yang bernilai tinggi dalam menumbuh­kembangkan bahasa Melayu yang kemudian menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Bertolak dari kenyataan itu, kita tidak ragu lagi untuk menyatakan bahwa Raja Ali Haji adalah seorang pejuang dalam bidang Bahasa dan Sastra Melayu di Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar