ABSTRAK
Sebagai wacana
sastra, konteks penyampaian makna dari sebuah puisi selalu disampaikan secara
tersirat oleh penyair. Siratan makna terkadang disampaikan dengan lambang
(Semiotik). Pendekatan yang digunakan dalam puisi ini ialah pendekatan semiotik
menurut Riffaterre. Fokus pembahasan yakni pada hasil
analisis puisi yang berjudul “Isa”
karya Chairil Anwar dengan menggunakan pendekatan Semiotik Riffaterre.
Kata
Kunci : makna, puisi, semiotik
“Demi Yang jiwaku di
tangan-Nya, Nyaris akan turun kepada kalian
putera Maryam (Nabi Isa as)
menjadi hakim yang adil,
menghancurkan salib dan
membunuh babi dan
memungut jizyah dan memenuhi harta...”
(Hadis Riwayat Muslim)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Perkembangan sastra
sekarang ini sangat pesat dan terkadang keluar dari kaidah-kaidah penulisan
yang ada. Banyak hal-hal baru yang muncul dan tidak sesuai dengan
konvensi-konvensi. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk menerapkan
teori-teori dalam menganalisis sajak Indonesia bertema religius untuk turut
mengembangkan studi sastra dan kesusastraan Indonesia. Meskipun teori semiotik
dewasa ini mulai dianggap teori sastra yang ‘usang’ karena adanya pendekatan-pendekatan
posmodern seperti estetika resepsi dan dekonstruksi Derrida, manfaatnya untuk membongkar
makna puisi tidak pernah pudar.
Semiotik adalah
sebuah teori dan pendekatan dalam sastra yang memandang karya sastra sebagai
struktur tanda yang bermakna. Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu
berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa
itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi
(perjanjian) masyarakat. (Pradopo, 2007:118).
Dalam makalah ini,
penulis mengambil salah satu puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Isa dalam kumpulan puisinya Aku Ini Binatang Jalang. Chairil Anwar,
lahir 26 Juli 1922 di Medan, merupakan salah satu penyair angkatan 45 yang
sangat produktif dan memiliki vitalitas tinggi pada masanya dan bahkan dijuluki
sebagai pelopor Angkatan 45. Hal ini dibuktikan dengan karya-karyanya yang
terangkum dalam kumpulan sajaknya, seperti Deru
Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan
Yang Terampas dan Yang Putus
(1949), dan Tiga Menguak Takdir
(bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950) (Jassin, 1956).
Corak dan gaya
penulisan sajaknya terlepas, bebas dan tidak terikat pada konvensi-konvensi yang ada pada masanya.
Salah satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan pada pilihan
kata-katanya. Seperti dalam puisi “Isa”,
setiap kata mampu menimbulkan imaji yang kuat dan menimbulkan kesan yang
berbeda-beda bagi penikmatnya. Dalam puisi ini, sang penyair mampu menghidupkan
suasana dengan gambaran yang hidup, hal ini disebabkan karena bahasa yang
digunakannya mengandung suatu kekuatan, rasa bahasa (sense of language) yang tinggi sehingga mampu menghidupkan
imajinasi pembacanya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
diatas, hal yang menjadi objek permasalahan dalam kajian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Analisis unsur
ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi Isa.
2.
Pembacaan semiotik
dalam puisi Isa.
3.
Matriks, model dan
varian dalam puisi Isa.
4.
Hubungan
intertekstual puisi Isa.
1.3.
Tujuan
Sesuai dengan
uraian di atas, analisis atau kajian ini memiliki tujuan teoretis dan praktis
yaitu sebagai berikut:
1.
Tujuan teoretis
Analisis
ini bertujuan bagi perkembangan ilmu sastra di Indonesia umumnya dalam
pemahaman puisi dan penerapan teori sastra untuk keperluan ilmiah, dan secara
khusus penerapan teori semiotik dalam menganalisis puisi. Teori ini perlu
dikembangkan dalam analisis puisi karena memiliki kemampuan yang cukup mumpuni
untuk memahami unsur-unsur dan makna puisi.
2.
Tujuan praktis
Analisis ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
mahasiswa di universitas dalam memahami karya sastra, khususnya dalam pemahaman
puisi.
1.4.
Teori dan Metode
Menganalisis sajak
itu bertujuan memahami maknanya. Menganalisis sajak merupakan usaha menangkap
dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra itu merupakan struktur yang
bermakna dan merupakan sistem tanda yang mempunyai makna bermediumkan bahasa.
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau
ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas nilai
(netral). Teori yang digunakan dalam analisis makalah ini menggunakan teori
semiotik menurut Riffaterre.
Teks atau puisi
menurut Michael Riffaterre adalah pemikiran yang dibakukan melalui mediasi
bahasa. Dalam semiotik, Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda.
Langkah-langkah dalam memahami sebuah teks, dalam hal ini puisi, menurut
Michael Riffaterre ada 4, yaitu: (1) puisi
itu ekspresi tak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti lain, (2) pembacaan heuristik dan pembacaan retrokatif
atau hermeneutik, (3) matriks, model,
dan varian-varian, dan (4) hipogram
(Riffaterre, 1978:13,14-15). Keempat hal itu uraiannya sebagai berikut:
1.
Puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dengan arti lain. Ekspresi
tidak langsung itu disebabkan oleh (a) penggantian arti (displacing of meaning), (b) penyimpangan atau pemencongan arti (distorting of meaning), dan (c)
penciptaan arti (creating of meaning)
(Riffaterre,1978:1-2).
2.
Pembacaan heuristik dan pembacaan retrokatif atau
hermeneutik (Riffaterre, 1978:5-6).
Pertama kali, sajak dibaca secara heuristik, yaitu dibaca berdasarkan tata
bahasa normatif, morfologi, semantik, dan sintaksis. Pembacaan ini menghasilkan
arti sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem
semiotik tingkat pertama (first order
semiotics). Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna
sajak atau makna sastra (significance).
Oleh karena itu, karya sastra dalam hal ini puisi harus dibaca ulang
(retrokatif) dengan memberikan tafsiran (hermeneutik).
Pembacaan
retrokatif dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra, yaitu puisi itu
merupakan ekspresi tidak langsung (lihat 1a, -b, -c). Pembacaan hermeneutik
adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Riffaterre, 1978:5-6).
3.
Untuk memperjelas
dan mendapatkan makna sajak lebih lanjut, maka dicari tema dan masalahnya dengan mencari matriks, model, dan
varian-variannya lebih dahulu (Riffaterre, 1978: 13, 19-21).
Matriks
itu harus diabstraksikan dari sajak yang dibahas. Matriks itu tidak
dieksplisitkan dalam sajak. Matriks itu bukan kiasan. Matriks adalah kata kunci
(key words), dapat berupa satu kata,
gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks ini “mengarah
pada tema”. Jadi, matriks bukan tema atau belum merupakan tema, dengan
ditemukan matriks nanti akan ditemukan tema.
Matriks
itu sebagai hipogram intern yang ditransformasikan ke dalam (menjadi) model
yang berupa kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi “varian-varian”.
Varian merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda, baris atau bait,
varian itu berupa “masalahnya”. Dari matriks, model, dan varian-varian ini
dapat disimpulkan atau diabstraksikan tema sajak.
4.
Sering kali sajak
itu (karya sastra) merupakan transformasi teks lain (teks sebelumnya) yang
merupakan hipogramnya, yaitu teks yang menjadi latar belakang penciptaannya.
Teks latar penciptaanya itu bisa berupa latar sosial masyarakat, peristiwa
sejarah, benda-benda alam dan lain-lain. Dengan
adanya hipogram itu, pemaknaan
membuat makna sajak menjadi lebih penuh, maka dilakukan analisis metode
intertekstual dengan menjajarkan sajak yang dimaknai dengan teks lain yang
menjadi hipogramnya.
Lampiran
Isa
kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah.
(12 November 1943)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Analisis Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi Dalam Puisi Isa
Dikemukakan
Riffaterre (dalam Pradopo, 2007: 281-281) bahwa puisi itu merupakan ekspresi
tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal yaitu:
1.
Penggantian arti (displacing of meaning).
2.
Penyimpangan arti (distorting of meaning).
3.
Penciptaan arti (creating of meaning).
1.
Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti
menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Metafora
dan metonimi itu sendiri adalah bahasa kiasan pada umumnya, yang mengiaskan
sesuatu dengan yang lain. Dalam puisi ini, penggantian arti terdapat pada baris
itu Tubuh / mengucur darah / mengucur
darah, bagian ini menyiratkan bagaimana penyair mengiaskan sang ‘Isa’
dengan kiasan ‘Tubuh mengucur darah’. Baris ini secara metaforis bermakna bahwa
tokoh ‘Aku’ (Isa) melihat betapa menderita dirinya sendiri dengan kondisi tubuh
yang penuh luka.
Bentuk ini juga
terdapat dalam baris “terbayang terang di
mata masa” dan “bertukar rupa ini segera”. Kedua baris ini secara metaforis
bermakna bahwa tokoh ‘Aku’ berharap dan membayangkan bahwa akan muncul suatu
mukjizat dalam waktu dekat dan ternyata memang terjadi. Rupa tokoh ‘Aku’
ditukar dengan seseorang dan selamatlah ia dari fitnah dunia.
2.
Penyimpangan arti
(distorting of meaning)
Riffaterre
mengemukakan bahwa penyimpangan arti
terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
a.
Ambiguitas itu
disebabkan karena bahasa puisi mempunyai arti ganda. Chairil Anwar dalam
puisinya gemar menggunakan kata-kata ambigu, hal ini dilakukannya untuk
menambah kepuitisan setiap larik puisinya. Begitupun juga dalam puisi ‘Isa’, berikut kutipannya:
rubuh
patah
...
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
...
mengatup luka
aku bersuka
Bagian
rubuh / patah bermakna terjatuh dan terjatuh lagi, yang berarti hidupnya
penuh penderitaan. Bagian “berkaca dengan
darah” berarti tokoh ‘Aku’ (Isa) dapat melihat pantulan bayangannya yang
dalam artian sebenarnya tubuhnya (Isa) sudah dipenuhi luka. Bagian “mengatup luka” berarti penderitaannya
telah berakhir. Bagian “aku bersuka”
bermakna tokoh “Aku” (Isa) merasa bahagia karena telah ditinggikan derajatnya /
diangkat ke langit sementara orang-orang yang menyaksikan peristiwa penyaliban
Isa tidak mengetahui hal ini.
b.
Kontradiksi
merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradok atau ironi.
Paradok adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan. Pada
puisi ini terdapat paradok yang terdapat pada judul:
Isa
yang
dipertentangkan oleh baris:
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
Pertentangan
ini berhubungan dengan diksi. Pada judul, Chairil menuliskan kata “Isa” yang merupakan identitas salah satu
nabi dalam sudut pandang Islam. Namun dapat dilihat dalam baris yang
dipertentangkan “kulihat Tubuh
mengucur darah” bahwa kata Tubuh
diawali huruf kapital T. Tentu saja
dalam literasi teks, terutama yang bertema religius, semua atribut Tuhan akan
dimuliakan dengan huruf kapital di setiap awal katanya. Penulis melihat
pertentangan ini semata-mata karena penyair ingin menghormati umat nasrani
sejati yang percaya bahwa Isa itu Tuhan tanpa melunturkan identitas keislaman
dari sajak, dengan memberikan judul Isa
ketimbang Yesus.
Ironi
merupakan gaya bahasa untuk menyatakan sesuatu secara berbalikan. Dalam puisi
ini, ironi terdapat dalam baris “mengatup
luka” yang berarti tokoh ‘Aku’ (Isa) dalam kondisi kesakitan, diironiskan
oleh baris “aku bersuka” yang berarti
si ‘Aku’ senang dengan kondisi yang dialami olehnya. Ini menggambarkan betapa
ironisnya umat kristiani pada waktu itu yang sedih dengan peristiwa penyaliban
Isa.
c.
Nonsense
merupakan kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. Dalam puisi
ini tidak terdapat nonsense karena semua bagian dalam puisi ini bisa dimaknai
oleh pembaca.
3.
Penciptaan arti (creating
of meaning)
Penciptaan arti
disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya (a) enjambement, (b) sajak, (c) tipografi,
dan (d) homologue (Pradopo, 2007:220).
a.
Enjambement,
yaitu perloncatan baris dalam sajak, membuat intensitas arti atau perhatian
pada akhir kata atau kata yang diloncatkan ke baris berikutnya.
itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Bait pertama ini kemudian diloncatkan pada bait terakhir.
Peloncatan bait dilakukan penyair untuk menciptakan suasana yang tragis dengan
penderitaan yang dialami Isa.
b.
Sajak menimbulkan
intensitas arti dan makna liris, pencurahan perasaan pada sajak. Berikut
kutipannya:
rubuh
patah
Penggunaan dua kata di atas menimbulkan makna liris untuk
mengungkapkan betapa menderitanya Isa dalam peristiwa penyaliban itu.
c.
Tipografi, yaitu
tata huruf dalam sajak yang dapat menciptakan makna. Dalam puisi Isa berikut
kutipannya:
a). Huruf /i/ pada kata ‘Isa’ ditulis dengan huruf kapital, dimaksudkan untuk menegaskan ikon
Nabi Isa yang menjadi sorotan utama dalam sajak ini.
b). Huruf /t/ pada kata ‘Tubuh’ ditulis dengan huruf kapital, dimaksudkan untuk menekankan
arti bahwa tokoh ‘Aku’ yang menjadi sorotan utama adalah orang yang dimuliakan
(Nabi) atau bisa juga sebagai Tuhan, tergantung sudut pandang pembaca.
d.
Homologue
adalah persejajaran bentuk atau persejajaran baris, bentuk yang yang sejajar
itu menimbulkan makna yang sama. Dalam puisi ini dapat terlihat bahwa penyair
hanya menggunakan kesejajaran kalimat atau bait dalam puisinya. Kesejajaran
bait ini digunakan untuk menimbulkan persejajaran bentuk dan arti. Bentuk
sejajar ini sengaja dibuat penyair sebab mempunyai pengaruh makna dan rasa
terhadap puisinya. Kesejajaran atau keteraturan ini menunjukkan bahwa penyair
ingin mengungkapkan tentang penderitaan yang dialami Isa tanpa ada yang
menolongnya. Penderitaan ini ia jalani dengan penuh ikhlas dan tanpa ada
perlawanan.
B.
Pembacaan Semiotik Dalam Puisi Isa
Untuk konkretisasi
makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan heuristik dan retrokatif (hermeneutic). Pada umumnya bahasa puisi
menyimpang dari penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini
semua yang tidak biasa harus dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan
sistem bahasa normatif. Bilamana perlu, kata-kata dapat diberi awalan atau akhiran,
disisipkan kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas
(Pradopo, 2007:295-296).
1.
Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan
konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem
semiotik tingkat pertama.
Bait Pertama
Itu Tubuh (Tubuh itu), mengucur
darah (mengucurkan darah), mengucur darah (dan terus mengucurkan darah).
Bait Kedua
rubuh (lalu rubuh)
patah (dan patah).
Bait Ketiga
Mendampar
(terbersit) tanya (pertanyaan) : aku
salah? (apa salah dan dosaku?).
Bait Keempat
kulihat Tubuh
mengucur darah (aku/Isa melihat tubuhku
mengucurkan darah), aku berkaca dalam
darah (aku sadar betapa besar penderitaan ini).
Bait Kelima
terbayang
terang di mata masa (yang akan
datang), bertukar rupa ini segera (dan berharap aku akan segera berubah).
Bait Keenam dan Ketujuh
mengatup luka (tubuhku penuh luka yang mengatup), aku bersuka (dan aku senang pada akhirnya).
2.
Pembacaan Retrokatif (hermeneutic)
Pembacaan retrokatif adalah pembacaan ulang dari awal
sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna
berdasarkan konvensi sastra (puisi). Puisi “Isa” ini menunjukkan suatu
peristiwa penyaliban Nabi Isa yang dilakukan oleh orang kristiani itu sendiri
(Yahudi).
Bait Pertama
Dalam bait pertama ini diterangkan tentang keadaan
sesosok tubuh, yaitu tubuh Isa yang penuh luka dan darah yang bercucuran. Itu Tubuh, mengucur darah, mengucur darah
merupakan pilihan kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan
penderitaan Isa. Gaya repetisi digunakan penyair untuk mengiaskan betapa
besarnya penderitaan Isa dengan tubuh yang penuh luka dan darah yang
bercucuran.
Bait Kedua
Bait kedua menggambarkan tentang penderitaan Isa yang
memikul salib ke Golgota, dimana dia terjatuh dan terus terjatuh karena beban
salib yang begitu berat. Pilihan kata rubuh
dan patah sengaja diselipkan oleh
penyair untuk menciptakan suasana yang memilukan dan tragis.
Bait Ketiga
Mendampar
tanya: aku salah?. Bait ini mau menegaskan
tentang apa salah dan dosanya sehingga dia diperlakukan seperti itu. Bait ini
dipertegas dengan penggunaan tanda tanya (?) untuk mengungkapkan pertanyaan
yang terbersit dalam pikiran Isa.
Bait Keempat
kulihat Tubuh
mengucur darah, baris ini mau
menggambarkan tentang posisi tokoh ‘Aku’ yang melihat tubuhnya penuh luka dan
berlumuran darah. aku berkaca dalam darah,
baris ini merupakan kiasan yang mengungkapkan kesadaran tokoh ‘Aku’ dengan
penderitaan yang dialaminya.
Bait Kelima
terbayang
terang di mata masa, bertukar rupa ini segera. Bait ini berhubungan dengan bait keempat, yang menggambarkan keterangan
keadaan tokoh aku lebih lanjut. Kedua
baris ini secara metaforis bermakna bahwa tokoh ‘Aku’ membayangkan bahwa akan
terjadi suatu keajaiban di masa kritis itu dan terjadilah mukjizat dengan
ditukarkan raganya oleh Yang Maha Kuasa.
Bait Keenam dan Ketujuh
mengatup luka,
aku bersuka. Baris keenam ini
menggambarkan tentang tokoh aku yang
melihat penderitaannya dengan tubuh penuh luka menganga akhirnya menutup
(berakhir). Pada baris ketujuh, merupakan suatu ironi dimana tokoh aku senang dengan penderitaan yang
dilaminya. Karena dengan tertukarnya raga Isa, Allah telah membalas tipu daya
orang-orang yang ingin membunuhnya.
C.
Matriks, Model, dan Varian-varian dalam Puisi Isa
Untuk membongkar
makna sajak supaya mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari
matriks atau kata-kata kuncinya. Kata kunci adalah kata yang menjadi kunci
penafsiran sajak yang dikonkretisasikan (Pradopo, 2007:299).
Matriks
dalam sajak ‘Isa’ adalah ‘peristiwa
penyaliban Isa’ dan ‘sukacitanya (Isa) karena telah ditinggikan derajatnya’.
Matriks ini ditransformasikan menjadi model ‘Tubuh mengucur darah’ , ‘rubuh
/ patah’, ‘bertukar rupa’ dan ‘aku
bersuka’. Matriks ini sebagai hipogram intern lantas ditransformasikan
menjadi varian-varian berupa masalah atau uraian dalam sajak:
Varian pertama
: Menggambarkan
tentang peristiwa penyaliban Isa, dimana dia memikul salib dengan tubuh yang
penuh luka siksaan (Tubuh mengucur darah).
Beratnya beban salib yang dipikulnya menyebabkan dia terjatuh beberapa kali (rubuh / patah).
Varian
kedua : Menggambarkan tentang sukacita Isa karena telah ditinggikan
derajat-
nya, atau dalam riwayat lain diangkat ke langit, oleh
Yang Maha Kuasa (aku bersuka). Dalam
kepercayaan Islam, peristiwa penyaliban Isa merupakan suatu mukjizat Tuhan
bahwa orang-orang kafir tidak berhasil menangkap Isa, apalagi menyalib dan
membunuhnya. Karena yang mereka tangkap lalu mereka salibkan ialah orang lain
yang diserupakan dengan Nabi Isa (bertukar
rupa).
Dari matriks, model
dan varian yang sudah djelaskan dapat disimpulkan bahwa tema religius dan hikmah
yang disampaikan puisi ‘Isa’ adalah
bahwa semoga manusia bisa tetap istiqomah dan senantiasa bertawakal layaknya Isa,
dan meyakini Tuhan bahwa Dia telah menyiapkan rencana indah di akhir jika kita mau
bersabar terhadap cobaanNya.
D.
Hubungan Intertekstual Puisi Isa
Prinsip
intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar-teks sajak. Sebuah sajak
merupakan tanggapan terhadap teks atau sajak-sajak sebelumnya. Ada istilah
khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu hipogram. Hipogram adalah teks yang
menjadi latar penciptaan teks lain atau yang menjadi latar penciptaan sajak
yang lain (Pradopo, 2007:300).
Dalam penciptaan
puisi “Isa” yang menjadi hipogramnya
adalah kisah perjuangan penyaliban Isa yang tertuang dalam kitab suci umat Islam
yaitu Al-Qur’an al-karim. Peristiwa penyaliban Isa itu sendiri terjadi pada
masa pemerintahan Romawi di bawah pemerintahan Pontius Pilatus abad 19 SM.
Peristiwa penyaliban ini kemudian penyair transformasikan ke dalam bentuk puisi
yang ditulis pada 12 Nopember 1943.
Hal ini terjadi dikarenakan
isi sajak berkaitan dengan kisah penyaliban Isa. Al-Qur’an menterjemahkan
peristiwa tersebut dalam kutipan dua ayat di Surah An-Nisa sebagai berikut:
“Dan (karena) perkataan mereka: “Kami telah membunuh Almasih ‘Isa ‘ibn
Maryam, rasul Allah,” sedangkan mereka tidak membunuhnya dan tidak (juga)
menyalibnya, tetapi diserupakan (dengan ‘Isa) bagi mereka (orang yang mereka
bunuh itu). Dan sesungguhnya orang yang berselisih faham mengenainya
(pembunuhan ‘Isa) benar-benar dalam keraguan tentang perkara (orang yang dibunuh
itu). Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, kecuali (mereka)
menurut sangkaan semata-mata dan mereka tidak yakin telah membunuhnya (‘Isa).
(Q. S. An-Nisa : 157)
“Tetapi (sebenarnya) Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya (kepada Allah).
Dan Allah itu al-’Aziz (Maha Perkasa), lagi al-Hakim (Maha Bijaksana).”
(Q. S. An-Nisa : 158)
Isi puisi
pada bait pertama berkaitan dengan peristiwa pada ayat 157, yakni sebelum Isa
memanggul salib, dia dimahkotai duri dan dicambuk sehingga darah bercucuran
dari tubuhnya.
Bait kedua masih
berkaitan dengan ayat 157. Dimana dalam peristiwa ini, Isa, dalam kepercayaan
Nasrani, diceritakan jatuh tiga kali karena beban salib yang begitu berat dan
cambukkan yang diterimanya.
Baris mendampar Tanya: aku salah?, berkaitan
dengan konflik dan penentangan orang-orang kafir pada masa itu, dimana akhirnya
Isa dijatuhi hukuman mati walaupun dia tidak bersalah.
Bait
keempat masih berkaitan dengan ayat 157 dimana luka-luka cambukan pada tubuh Isa
mengucurkan darah.
Baris terbayang terang di mata masa, bertukar rupa
ini segera menjelaskan secara tepat petikan ayat 157.
Sedangkan
baris mengatup luka, aku bersuka
merupakan gambaran dari ayat 158 bahwa Isa telah diselamatkan oleh Tuhan.
Dari
beberapa pernyataan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa isi sajak ‘Isa’
memang berkaitan dengan peristiwa penyaliban Isa.
BAB III
PENUTUP
Analisis semiotik merupakan
analisis yang digunakan untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks
karya sastra, khususnya puisi. Hal ini dilakukan karena bahasa puisi bersifat padat dan ringkas. Oleh karena
itu, perlu adanya sebuah teori atau kajian yang menelaah bahasa puisi secara
terperinci dan mendalam, dan jawaban tersebut adalah teori semiotika menurut
pandangan Riffaterre.
Puisi
merupakan ekspresi tidak langsung. Maka dari itu, dalam menganalisis tanda yang
terdapat dalam puisi Isa diawali dengan melakukan analisis ketidaklangsungan
ekspresi puisi yang meliputi penciptaan arti, penggantian arti, dan
penyimpangan arti. Analisis ini digunakan untuk memahami gaya bahasa dan bentuk
puisi, selain itu juga untuk memperkuat pemaknaan puisi secara keseluruhan.
Pemahaman puisi Isa ini kemudian dilanjutkan dengan pencarian kata kunci
sebagai inti makna keseluruhan puisi dan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan
pada tingkat bahasa (heuristic), dan pembacaan
pada tingkat makna (hermeneutic).
Pembacaan ini dilakukan agar dapat memahami bahasa dan makna puisi secara utuh
dan menyeluruh. Pemahaman puisi ini kemudian diakhiri dengan mencari hubungan
intertekstual puisi dengan karya atau teks yang pernah ada sebelumnya. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui aspek diakronis yang melatari puisi ini diciptakan.
Setelah
melakukan analisis semiotik puisi Isa karya Chairil Anwar, dapat disimpulkan
bahwa keteguhan dan kepercayaan umat Islam sangat kuat tampak dalam tema
religius puisi. Hal ini juga membantah bahwa peristiwa penyaliban Isa yang
berlumuran darah merupakan penebusan dosa umat Kristen, karena yang ditangkap
lalu disalibkan ialah orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil. 2006. Aku
ini Binatang Jalang. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Jassin, H.B. 1978. Chairil
Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.
Keraf, Gorys. 2007. Diksi
dan Gaya Bahasa (cetakan ketujuh belas). Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (cetakan keempat). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University
Press.
Puisi ini telah menggetarkan hatiku sejak aku membacanya ketika duduk di kelas 1 SMP. Ketika membacanya lagi, kini, air mataku meleleh tak terbendung. Ya, aku telah menemukanNya! Terima kasih, Chairil Anwar, JCBU!
BalasHapusterima kasih udah mampir. ini tugas mk sastra & religi saya d S2. :)
Hapuskak caranya ngasih lagu di blog gimana sih?
BalasHapusmasuk ke http://scmplayer.net/
Hapusterus pilih skin, edit playlist (copy-paste alamat video d youtube aja), dan terakhir configure setting. setelah klik 'done', nanti bakal ada rumus html yg muncul, nah itu di-copy paste k blog kita. di paste-nya d edit html/java *lupa tepatny*. mudah ko. :)
Hello,
BalasHapusSaya ingin menyajikan refleksi pribadi akan puisi ini. Saya menulis beberapa puisi, tetapi tidak pernah belajar menguak puisi yang ditulis orang lain. Jadi ini hanya pendapat yang lahir dari jiwa saya.
Saya kira tidak ada inconsistency/pertukaran subyek dalam puisi ini. Dari awal hingga akhir puisi ini menuturkan pengalaman dan perenungan sang penulis. Ini khususnya berkaitan dengan lines:
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
Menurut refleksi saya "aku" dalam baris ini tetap Chairil, bukan berganti dari Chairil menjadi Isa. This affects refleksi atas baris-baris selanjutnya.
Itu saja.
Bahasan Anda baik juga tentunya.
Salam,
SH