Ganbatte!!

"Ikatlah ilmu dengan menulis." #Ali bin Abi Thalib

Senin, 19 November 2012

Analisis Semiotik Puisi “ISA” Karya Chairil Anwar

  
ABSTRAK
         
Sebagai wacana sastra, konteks penyampaian makna dari sebuah puisi selalu disampaikan secara tersirat oleh penyair. Siratan makna terkadang disampaikan dengan lambang (Semiotik). Pendekatan yang digunakan dalam puisi ini ialah pendekatan semiotik menurut Riffaterre. Fokus pembahasan yakni pada hasil analisis puisi yang berjudul “Isa” karya Chairil Anwar dengan menggunakan pendekatan Semiotik Riffaterre.

Kata Kunci : makna, puisi, semiotik


“Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, Nyaris akan turun kepada kalian
putera Maryam (Nabi Isa as) menjadi hakim yang adil,
menghancurkan salib dan membunuh babi dan
 memungut jizyah dan memenuhi harta...”
(Hadis Riwayat Muslim)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sastra sekarang ini sangat pesat dan terkadang keluar dari kaidah-kaidah penulisan yang ada. Banyak hal-hal baru yang muncul dan tidak sesuai dengan konvensi-konvensi. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk menerapkan teori-teori dalam menganalisis sajak Indonesia bertema religius untuk turut mengembangkan studi sastra dan kesusastraan Indonesia. Meskipun teori semiotik dewasa ini mulai dianggap teori sastra yang ‘usang’ karena adanya pendekatan-pendekatan posmodern seperti estetika resepsi dan dekonstruksi Derrida, manfaatnya untuk membongkar makna puisi tidak pernah pudar.
Semiotik adalah sebuah teori dan pendekatan dalam sastra yang memandang karya sastra sebagai struktur tanda yang bermakna. Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. (Pradopo, 2007:118).
Dalam makalah ini, penulis mengambil salah satu puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Isa dalam kumpulan puisinya Aku Ini Binatang Jalang. Chairil Anwar, lahir 26 Juli 1922 di Medan, merupakan salah satu penyair angkatan 45 yang sangat produktif dan memiliki vitalitas tinggi pada masanya dan bahkan dijuluki sebagai pelopor Angkatan 45. Hal ini dibuktikan dengan karya-karyanya yang terangkum dalam kumpulan sajaknya, seperti Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950) (Jassin, 1956).
Corak dan gaya penulisan sajaknya terlepas, bebas dan tidak terikat  pada konvensi-konvensi yang ada pada masanya. Salah satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan pada pilihan kata-katanya. Seperti dalam puisi “Isa”, setiap kata mampu menimbulkan imaji yang kuat dan menimbulkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya. Dalam puisi ini, sang penyair mampu menghidupkan suasana dengan gambaran yang hidup, hal ini disebabkan karena bahasa yang digunakannya mengandung suatu kekuatan, rasa bahasa (sense of language) yang tinggi sehingga mampu menghidupkan imajinasi pembacanya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, hal yang menjadi objek permasalahan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1.            Analisis unsur ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi Isa.
2.            Pembacaan semiotik dalam puisi Isa.
3.            Matriks, model dan varian dalam puisi Isa.
4.            Hubungan intertekstual puisi Isa.

1.3. Tujuan

Sesuai dengan uraian di atas, analisis atau kajian ini memiliki tujuan teoretis dan praktis yaitu sebagai berikut:
1.      Tujuan teoretis
Analisis ini bertujuan bagi perkembangan ilmu sastra di Indonesia umumnya dalam pemahaman puisi dan penerapan teori sastra untuk keperluan ilmiah, dan secara khusus penerapan teori semiotik dalam menganalisis puisi. Teori ini perlu dikembangkan dalam analisis puisi karena memiliki kemampuan yang cukup mumpuni untuk memahami unsur-unsur dan makna puisi.
2.      Tujuan praktis
Analisis ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa di universitas dalam memahami karya sastra, khususnya dalam pemahaman puisi.

1.4. Teori dan Metode

Menganalisis sajak itu bertujuan memahami maknanya. Menganalisis sajak merupakan usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna dan merupakan sistem tanda yang mempunyai makna bermediumkan bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas nilai (netral). Teori yang digunakan dalam analisis makalah ini menggunakan teori semiotik menurut Riffaterre.
Teks atau puisi menurut Michael Riffaterre adalah pemikiran yang dibakukan melalui mediasi bahasa. Dalam semiotik, Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda. Langkah-langkah dalam memahami sebuah teks, dalam hal ini puisi, menurut Michael Riffaterre ada 4, yaitu: (1) puisi itu ekspresi tak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti lain, (2) pembacaan heuristik dan pembacaan retrokatif atau hermeneutik, (3) matriks, model, dan varian-varian, dan (4) hipogram (Riffaterre, 1978:13,14-15). Keempat hal itu uraiannya sebagai berikut:

1.      Puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dengan arti lain. Ekspresi tidak langsung itu disebabkan oleh (a) penggantian arti (displacing of meaning), (b) penyimpangan atau pemencongan arti (distorting of meaning), dan (c) penciptaan arti (creating of meaning) (Riffaterre,1978:1-2).

2.      Pembacaan heuristik dan pembacaan retrokatif atau hermeneutik (Riffaterre, 1978:5-6). Pertama kali, sajak dibaca secara heuristik, yaitu dibaca berdasarkan tata bahasa normatif, morfologi, semantik, dan sintaksis. Pembacaan ini menghasilkan arti sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics). Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna sajak atau makna sastra (significance). Oleh karena itu, karya sastra dalam hal ini puisi harus dibaca ulang (retrokatif) dengan memberikan tafsiran (hermeneutik).
Pembacaan retrokatif dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra, yaitu puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung (lihat 1a, -b, -c). Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Riffaterre, 1978:5-6).

3.      Untuk memperjelas dan mendapatkan makna sajak lebih lanjut, maka dicari tema dan masalahnya dengan mencari matriks, model, dan varian-variannya lebih dahulu (Riffaterre, 1978: 13, 19-21).
Matriks itu harus diabstraksikan dari sajak yang dibahas. Matriks itu tidak dieksplisitkan dalam sajak. Matriks itu bukan kiasan. Matriks adalah kata kunci (key words), dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks ini “mengarah pada tema”. Jadi, matriks bukan tema atau belum merupakan tema, dengan ditemukan matriks nanti akan ditemukan tema.
Matriks itu sebagai hipogram intern yang ditransformasikan ke dalam (menjadi) model yang berupa kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi “varian-varian”. Varian merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda, baris atau bait, varian itu berupa “masalahnya”. Dari matriks, model, dan varian-varian ini dapat disimpulkan atau diabstraksikan tema sajak.

4.      Sering kali sajak itu (karya sastra) merupakan transformasi teks lain (teks sebelumnya) yang merupakan hipogramnya, yaitu teks yang menjadi latar belakang penciptaannya. Teks latar penciptaanya itu bisa berupa latar sosial masyarakat, peristiwa sejarah, benda-benda alam dan lain-lain. Dengan adanya hipogram itu, pemaknaan membuat makna sajak menjadi lebih penuh, maka dilakukan analisis metode intertekstual dengan menjajarkan sajak yang dimaknai dengan teks lain yang menjadi hipogramnya.


Lampiran

Isa

kepada nasrani sejati

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera

mengatup luka

aku bersuka

itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah.

(12 November 1943)


BAB  II
PEMBAHASAN


A.    Analisis Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi Dalam Puisi Isa

Dikemukakan Riffaterre (dalam Pradopo, 2007: 281-281) bahwa puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal yaitu:
1.      Penggantian arti (displacing of meaning).
2.      Penyimpangan arti (distorting of meaning).
3.      Penciptaan arti (creating of meaning).

1.      Penggantian arti  (displacing of meaning)
           
Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Metafora dan metonimi itu sendiri adalah bahasa kiasan pada umumnya, yang mengiaskan sesuatu dengan yang lain. Dalam puisi ini, penggantian arti terdapat pada baris itu Tubuh / mengucur darah / mengucur darah, bagian ini menyiratkan bagaimana penyair mengiaskan sang ‘Isa’ dengan kiasan ‘Tubuh mengucur darah’. Baris ini secara metaforis bermakna bahwa tokoh ‘Aku’ (Isa) melihat betapa menderita dirinya sendiri dengan kondisi tubuh yang penuh luka.
Bentuk ini juga terdapat dalam baris “terbayang terang di mata masa”  dan “bertukar rupa ini segera”. Kedua baris ini secara metaforis bermakna bahwa tokoh ‘Aku’ berharap dan membayangkan bahwa akan muncul suatu mukjizat dalam waktu dekat dan ternyata memang terjadi. Rupa tokoh ‘Aku’ ditukar dengan seseorang dan selamatlah ia dari fitnah dunia.

2.      Penyimpangan arti  (distorting of meaning)

Riffaterre mengemukakan  bahwa penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.

a.       Ambiguitas itu disebabkan karena bahasa puisi mempunyai arti ganda. Chairil Anwar dalam puisinya gemar menggunakan kata-kata ambigu, hal ini dilakukannya untuk menambah kepuitisan setiap larik puisinya. Begitupun  juga dalam puisi ‘Isa’, berikut kutipannya:

rubuh
patah
...
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
...
mengatup luka
aku bersuka

Bagian rubuh / patah bermakna terjatuh dan terjatuh lagi, yang berarti hidupnya penuh penderitaan. Bagian “berkaca dengan darah” berarti tokoh ‘Aku’ (Isa) dapat melihat pantulan bayangannya yang dalam artian sebenarnya tubuhnya (Isa) sudah dipenuhi luka. Bagian “mengatup luka” berarti penderitaannya telah berakhir. Bagian “aku bersuka” bermakna tokoh “Aku” (Isa) merasa bahagia karena telah ditinggikan derajatnya / diangkat ke langit sementara orang-orang yang menyaksikan peristiwa penyaliban Isa tidak mengetahui hal ini.

b.      Kontradiksi merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradok atau ironi. Paradok adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan. Pada puisi ini terdapat paradok yang terdapat pada judul:

Isa

yang dipertentangkan oleh baris:

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

Pertentangan ini berhubungan dengan diksi. Pada judul, Chairil menuliskan kata “Isa” yang merupakan identitas salah satu nabi dalam sudut pandang Islam. Namun dapat dilihat dalam baris yang dipertentangkan “kulihat Tubuh mengucur darah” bahwa kata Tubuh diawali huruf kapital T. Tentu saja dalam literasi teks, terutama yang bertema religius, semua atribut Tuhan akan dimuliakan dengan huruf kapital di setiap awal katanya. Penulis melihat pertentangan ini semata-mata karena penyair ingin menghormati umat nasrani sejati yang percaya bahwa Isa itu Tuhan tanpa melunturkan identitas keislaman dari sajak, dengan memberikan judul Isa ketimbang Yesus.

Ironi merupakan gaya bahasa untuk menyatakan sesuatu secara berbalikan. Dalam puisi ini, ironi terdapat dalam baris “mengatup luka” yang berarti tokoh ‘Aku’ (Isa) dalam kondisi kesakitan, diironiskan oleh baris “aku bersuka” yang berarti si ‘Aku’ senang dengan kondisi yang dialami olehnya. Ini menggambarkan betapa ironisnya umat kristiani pada waktu itu yang sedih dengan peristiwa penyaliban Isa.

c.       Nonsense merupakan kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. Dalam puisi ini tidak terdapat nonsense karena semua bagian dalam puisi ini bisa dimaknai oleh pembaca.

3.      Penciptaan arti (creating of meaning)
        
Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya (a) enjambement, (b) sajak, (c) tipografi, dan (d) homologue  (Pradopo, 2007:220).

a.       Enjambement, yaitu perloncatan baris dalam sajak, membuat intensitas arti atau perhatian pada akhir kata atau kata yang diloncatkan ke baris berikutnya.

itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

Bait pertama ini kemudian diloncatkan pada bait terakhir. Peloncatan bait dilakukan penyair untuk menciptakan suasana yang tragis dengan penderitaan yang dialami Isa.

b.      Sajak menimbulkan intensitas arti dan makna liris, pencurahan perasaan pada sajak. Berikut kutipannya:

rubuh
patah

Penggunaan dua kata di atas menimbulkan makna liris untuk mengungkapkan betapa menderitanya Isa dalam peristiwa penyaliban itu.

c.       Tipografi, yaitu tata huruf dalam sajak yang dapat menciptakan makna. Dalam puisi Isa berikut kutipannya:
a). Huruf /i/ pada kata ‘Isa’ ditulis dengan huruf kapital, dimaksudkan untuk menegaskan ikon Nabi Isa yang menjadi sorotan utama dalam sajak ini.
b). Huruf /t/ pada kata ‘Tubuh’ ditulis dengan huruf kapital, dimaksudkan untuk menekankan arti bahwa tokoh ‘Aku’ yang menjadi sorotan utama adalah orang yang dimuliakan (Nabi) atau bisa juga sebagai Tuhan, tergantung sudut pandang pembaca.

d.      Homologue adalah persejajaran bentuk atau persejajaran baris, bentuk yang yang sejajar itu menimbulkan makna yang sama. Dalam puisi ini dapat terlihat bahwa penyair hanya menggunakan kesejajaran kalimat atau bait dalam puisinya. Kesejajaran bait ini digunakan untuk menimbulkan persejajaran bentuk dan arti. Bentuk sejajar ini sengaja dibuat penyair sebab mempunyai pengaruh makna dan rasa terhadap puisinya. Kesejajaran atau keteraturan ini menunjukkan bahwa penyair ingin mengungkapkan tentang penderitaan yang dialami Isa tanpa ada yang menolongnya. Penderitaan ini ia jalani dengan penuh ikhlas dan tanpa ada perlawanan.

B.     Pembacaan Semiotik Dalam Puisi Isa

Untuk konkretisasi makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan heuristik dan retrokatif (hermeneutic). Pada umumnya bahasa puisi menyimpang dari penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak biasa harus dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu, kata-kata dapat diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas (Pradopo, 2007:295-296).

1.      Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama.

Bait Pertama
Itu Tubuh  (Tubuh itu),  mengucur darah  (mengucurkan darah), mengucur darah  (dan terus mengucurkan darah).
  
Bait Kedua
rubuh  (lalu rubuh)  patah  (dan patah).

Bait Ketiga
Mendampar (terbersit)  tanya (pertanyaan) : aku salah? (apa salah dan dosaku?).

Bait Keempat
kulihat Tubuh mengucur darah (aku/Isa melihat tubuhku mengucurkan darah), aku berkaca dalam darah (aku sadar betapa besar penderitaan ini).

Bait Kelima
terbayang terang di mata masa (yang akan datang), bertukar rupa ini segera  (dan berharap aku akan segera berubah).

Bait Keenam dan Ketujuh
mengatup luka (tubuhku penuh luka yang mengatup), aku bersuka (dan aku senang pada akhirnya).

2.      Pembacaan Retrokatif (hermeneutic)
Pembacaan retrokatif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi). Puisi “Isa” ini menunjukkan suatu peristiwa penyaliban Nabi Isa yang dilakukan oleh orang kristiani itu sendiri (Yahudi).

Bait Pertama
Dalam bait pertama ini diterangkan tentang keadaan sesosok tubuh, yaitu tubuh Isa yang penuh luka dan darah yang bercucuran. Itu Tubuh, mengucur darah, mengucur darah merupakan pilihan kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan penderitaan Isa. Gaya repetisi digunakan penyair untuk mengiaskan betapa besarnya penderitaan Isa dengan tubuh yang penuh luka dan darah yang bercucuran.

Bait Kedua
Bait kedua menggambarkan tentang penderitaan Isa yang memikul salib ke Golgota, dimana dia terjatuh dan terus terjatuh karena beban salib yang begitu berat. Pilihan kata rubuh dan patah sengaja diselipkan oleh penyair untuk menciptakan suasana yang memilukan dan tragis.

Bait Ketiga
Mendampar tanya: aku salah?. Bait ini mau menegaskan tentang apa salah dan dosanya sehingga dia diperlakukan seperti itu. Bait ini dipertegas dengan penggunaan tanda tanya (?) untuk mengungkapkan pertanyaan yang terbersit dalam pikiran Isa.
  
Bait Keempat   
kulihat Tubuh mengucur darah, baris ini mau menggambarkan tentang posisi tokoh ‘Aku’ yang melihat tubuhnya penuh luka dan berlumuran darah. aku berkaca dalam darah, baris ini merupakan kiasan yang mengungkapkan kesadaran tokoh ‘Aku’ dengan penderitaan yang dialaminya.

Bait Kelima
terbayang terang di mata masa, bertukar rupa ini segera. Bait ini berhubungan dengan bait keempat, yang menggambarkan keterangan keadaan tokoh aku lebih lanjut. Kedua baris ini secara metaforis bermakna bahwa tokoh ‘Aku’ membayangkan bahwa akan terjadi suatu keajaiban di masa kritis itu dan terjadilah mukjizat dengan ditukarkan raganya oleh Yang Maha Kuasa.

Bait Keenam dan Ketujuh
mengatup luka, aku bersuka. Baris keenam ini menggambarkan tentang tokoh aku yang melihat penderitaannya dengan tubuh penuh luka menganga akhirnya menutup (berakhir). Pada baris ketujuh, merupakan suatu ironi dimana tokoh aku senang dengan penderitaan yang dilaminya. Karena dengan tertukarnya raga Isa, Allah telah membalas tipu daya orang-orang yang ingin membunuhnya.

C.    Matriks, Model, dan Varian-varian dalam Puisi Isa

Untuk membongkar makna sajak supaya mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau kata-kata kuncinya. Kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan (Pradopo, 2007:299).
            Matriks dalam sajak ‘Isa’ adalah ‘peristiwa penyaliban Isa’ dan ‘sukacitanya (Isa) karena telah ditinggikan derajatnya’. Matriks ini ditransformasikan menjadi model ‘Tubuh mengucur darah’ , ‘rubuh / patah’, ‘bertukar rupa’ dan ‘aku bersuka’. Matriks ini sebagai hipogram intern lantas ditransformasikan menjadi varian-varian berupa masalah atau uraian dalam sajak:

Varian pertama :       Menggambarkan tentang peristiwa penyaliban Isa, dimana dia memikul salib dengan tubuh yang penuh luka siksaan (Tubuh mengucur darah). Beratnya beban salib yang dipikulnya menyebabkan dia terjatuh beberapa kali (rubuh / patah).

Varian kedua :           Menggambarkan tentang sukacita Isa karena telah ditinggikan derajat-
nya, atau dalam riwayat lain diangkat ke langit, oleh Yang Maha Kuasa (aku bersuka). Dalam kepercayaan Islam, peristiwa penyaliban Isa merupakan suatu mukjizat Tuhan bahwa orang-orang kafir tidak berhasil menangkap Isa, apalagi menyalib dan membunuhnya. Karena yang mereka tangkap lalu mereka salibkan ialah orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa (bertukar rupa).

Dari matriks, model dan varian yang sudah djelaskan dapat disimpulkan bahwa tema religius dan hikmah yang disampaikan puisi ‘Isa’ adalah bahwa semoga manusia bisa tetap istiqomah dan senantiasa bertawakal layaknya Isa, dan meyakini Tuhan bahwa Dia telah menyiapkan rencana indah di akhir jika kita mau bersabar terhadap cobaanNya.

D.    Hubungan Intertekstual Puisi Isa

Prinsip intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar-teks sajak. Sebuah sajak merupakan tanggapan terhadap teks atau sajak-sajak sebelumnya. Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu hipogram. Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau yang menjadi latar penciptaan sajak yang lain (Pradopo, 2007:300).
Dalam penciptaan puisi “Isa” yang menjadi hipogramnya adalah kisah perjuangan penyaliban Isa yang tertuang dalam kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur’an al-karim. Peristiwa penyaliban Isa itu sendiri terjadi pada masa pemerintahan Romawi di bawah pemerintahan Pontius Pilatus abad 19 SM. Peristiwa penyaliban ini kemudian penyair transformasikan ke dalam bentuk puisi yang ditulis pada 12 Nopember 1943.
Hal ini terjadi dikarenakan isi sajak berkaitan dengan kisah penyaliban Isa. Al-Qur’an menterjemahkan peristiwa tersebut dalam kutipan dua ayat di Surah An-Nisa sebagai berikut:

“Dan (karena) perkataan mereka: “Kami telah membunuh Almasih ‘Isa ‘ibn Maryam, rasul Allah,” sedangkan mereka tidak membunuhnya dan tidak (juga) menyalibnya, tetapi diserupakan (dengan ‘Isa) bagi mereka (orang yang mereka bunuh itu). Dan sesungguhnya orang yang berselisih faham mengenainya (pembunuhan ‘Isa) benar-benar dalam keraguan tentang perkara (orang yang dibunuh itu). Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, kecuali (mereka) menurut sangkaan semata-mata dan mereka tidak yakin telah membunuhnya (‘Isa).
(Q. S. An-Nisa : 157)

“Tetapi (sebenarnya) Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya (kepada Allah). Dan Allah itu al-’Aziz (Maha Perkasa), lagi al-Hakim (Maha Bijaksana).”
(Q. S. An-Nisa : 158)

            Isi puisi pada bait pertama berkaitan dengan peristiwa pada ayat 157, yakni sebelum Isa memanggul salib, dia dimahkotai duri dan dicambuk sehingga darah bercucuran dari tubuhnya.
Bait kedua masih berkaitan dengan ayat 157. Dimana dalam peristiwa ini, Isa, dalam kepercayaan Nasrani, diceritakan jatuh tiga kali karena beban salib yang begitu berat dan cambukkan yang diterimanya.
            Baris mendampar Tanya: aku salah?, berkaitan dengan konflik dan penentangan orang-orang kafir pada masa itu, dimana akhirnya Isa dijatuhi hukuman mati walaupun dia tidak bersalah.
            Bait keempat masih berkaitan dengan ayat 157 dimana luka-luka cambukan pada tubuh Isa mengucurkan darah.
            Baris terbayang terang di mata masa, bertukar rupa ini segera menjelaskan secara tepat petikan ayat 157.
            Sedangkan baris mengatup luka, aku bersuka merupakan gambaran dari ayat 158 bahwa Isa telah diselamatkan oleh Tuhan.
            Dari beberapa pernyataan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa isi sajak ‘Isa’ memang berkaitan dengan peristiwa penyaliban Isa.


BAB  III
PENUTUP

            Analisis semiotik  merupakan analisis yang digunakan untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks karya sastra, khususnya puisi. Hal ini dilakukan karena bahasa  puisi bersifat padat dan ringkas. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah teori atau kajian yang menelaah bahasa puisi secara terperinci dan mendalam, dan jawaban tersebut adalah teori semiotika menurut pandangan  Riffaterre.
            Puisi merupakan ekspresi tidak langsung. Maka dari itu, dalam menganalisis tanda yang terdapat dalam puisi Isa diawali dengan melakukan analisis ketidaklangsungan ekspresi puisi yang meliputi penciptaan arti, penggantian arti, dan penyimpangan arti. Analisis ini digunakan untuk memahami gaya bahasa dan bentuk puisi, selain itu juga untuk memperkuat pemaknaan puisi secara keseluruhan.
            Pemahaman puisi Isa ini kemudian dilanjutkan dengan pencarian kata kunci sebagai inti makna keseluruhan puisi dan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan pada tingkat bahasa (heuristic), dan pembacaan pada tingkat makna (hermeneutic). Pembacaan ini dilakukan agar dapat memahami bahasa dan makna puisi secara utuh dan menyeluruh. Pemahaman puisi ini kemudian diakhiri dengan mencari hubungan intertekstual puisi dengan karya atau teks yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui aspek diakronis yang melatari puisi ini diciptakan.
            Setelah melakukan analisis semiotik puisi Isa karya Chairil Anwar, dapat disimpulkan bahwa keteguhan dan kepercayaan umat Islam sangat kuat tampak dalam tema religius puisi. Hal ini juga membantah bahwa peristiwa penyaliban Isa yang berlumuran darah merupakan penebusan dosa umat Kristen, karena yang ditangkap lalu disalibkan ialah orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. 2006. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Jassin, H.B. 1978. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa (cetakan ketujuh belas). Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya  (cetakan keempat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

5 komentar:

  1. Puisi ini telah menggetarkan hatiku sejak aku membacanya ketika duduk di kelas 1 SMP. Ketika membacanya lagi, kini, air mataku meleleh tak terbendung. Ya, aku telah menemukanNya! Terima kasih, Chairil Anwar, JCBU!

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih udah mampir. ini tugas mk sastra & religi saya d S2. :)

      Hapus
  2. kak caranya ngasih lagu di blog gimana sih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. masuk ke http://scmplayer.net/
      terus pilih skin, edit playlist (copy-paste alamat video d youtube aja), dan terakhir configure setting. setelah klik 'done', nanti bakal ada rumus html yg muncul, nah itu di-copy paste k blog kita. di paste-nya d edit html/java *lupa tepatny*. mudah ko. :)

      Hapus
  3. Hello,

    Saya ingin menyajikan refleksi pribadi akan puisi ini. Saya menulis beberapa puisi, tetapi tidak pernah belajar menguak puisi yang ditulis orang lain. Jadi ini hanya pendapat yang lahir dari jiwa saya.

    Saya kira tidak ada inconsistency/pertukaran subyek dalam puisi ini. Dari awal hingga akhir puisi ini menuturkan pengalaman dan perenungan sang penulis. Ini khususnya berkaitan dengan lines:

    kulihat Tubuh mengucur darah
    aku berkaca dalam darah

    Menurut refleksi saya "aku" dalam baris ini tetap Chairil, bukan berganti dari Chairil menjadi Isa. This affects refleksi atas baris-baris selanjutnya.

    Itu saja.

    Bahasan Anda baik juga tentunya.

    Salam,
    SH

    BalasHapus