ABSTRAK
Pidato merupakan
salah satu bentuk komunikasi. Pidato kenegaraan biasanya menunjukkan ciri-ciri
khusus sebagai wacana persuasif. Hal ini dapat dilihat dari adanya penggunaan
kata-kata yang bersifat memengaruhi dan mengajak pendengarnya untuk melakukan
apa yang dikatakan. Selain itu, pidato adalah salah satu metode untuk melakukan
propaganda, menghimbau, melarang kepada khalayak agar mengikuti alur pemikiran
orang yang berpidato tersebut. Proses mempengaruhi pendengar sehingga secara
emosi bisa tertarik bahkan bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh pembicara. Hal
seperti inilah yang dinamakan persuasi atau proses membujuk pikiran orang lain
kearah pemikiran pembicara atau penulis.
Salah satu peranan persuasi di dalam
penelitian ini untuk mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi di dalam teks
pidato khususnya pidato pelantikannya Umar bin Khattab dalam proses persuasi
yang dilihat dari beberapa sudut pandang.
Dari uraian di atas peneliti ingin
mengungkap dan mengurai lebih detail terhadap faktor-faktor yang saling memberi
peranan terhadap teks, pembaca atau reader
sekaligus pembuat teks itu sendiri. Lebih sepesifik yang dibahas hanya teks
pidato pelantikannya Umar bin Khattab pada tahun 634.
Kata
Kunci : analisis, pidato, hermeneutik
“Seandainya ada seorang Nabi
setelahku,
tentulah Umar bin Khattab
orangnya.”
(Hadis Riwayat Tirmidzi)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Pada masa awal
Islam, prosa menempati posisi yang utama, karena cocok untuk dakwah Islam.
Pidato lebih berkembang dibandingkan dengan jenis prosa lainnya pada masa itu,
karena dianggap sebagai model dakwah agama yang baru, mendorong untuk berjuang
di jalan Allah, mengambil tema masalah-masalah sosial dan digunakan dalam
shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha. (Lesmana, 2010:205).
Hermeneutik menurut
pandangan kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan
dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermeneutik cocok untuk
membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan
dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi
sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya
sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian
sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik.
Oleh karena itu,
hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar
itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh
pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa
interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya
menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna”
yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter
(si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas
dan mendalam.
Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf
interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman
interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman
yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus
dimiliki interpreter. Dari beberapa
alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode
pemahaman hermeneutik dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Dalam makalah ini,
penulis mengambil salah satu karya sastra Islam dari pidato Umar bin Khattab,
yakni pidato pelantikannya ketika menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar. Umar
bin Khattab (581 - November 644) (bahasa Arab: عمر ابن الخطاب) adalah salah
seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang juga khalifah kedua Islam (634-644).
Umar juga merupakan satu di antara empat orang Khalifah yang digolongkan
sebagai Khalifah yang diberi petunjuk (Khulafaur
Rasyidin).
Pada masa Abu Bakar
menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya.
Setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk untuk menggantikan
Abu Bakar sebagai khalifah kedua dalam sejarah Islam. Selama pemerintahan Umar,
kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Saat itu ada dua negara adidaya
yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan
Islam dibawah pimpinan Umar.
1.2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
diatas, hal yang menjadi objek permasalahan dalam kajian ini adalah sebagai
berikut:
·
Analisis dan pembacaan
hermeneutik dalam pidato pelantikan Umar bin Khattab (dilihat pula unsur
ketidaklangsungan dan kontekstual pidatonya).
1.3.
Tujuan
Sesuai dengan
uraian di atas, analisis atau kajian ini memiliki tujuan teoretis dan praktis
yaitu sebagai berikut:
1.
Tujuan teoretis
Analisis
ini bertujuan bagi perkembangan ilmu sastra Islam di Indonesia umumnya dalam
pemahaman pidato dan penerapan teori sastra untuk keperluan ilmiah, dan secara
khusus penerapan teori hermeneutik dalam menganalisis pidato. Teori ini perlu
dikembangkan dalam analisis pidato karena memiliki kemampuan yang cukup mumpuni
untuk memahami unsur-unsur dan makna pidato.
2.
Tujuan praktis
Analisis ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
mahasiswa di universitas dalam memahami karya sastra Islam, khususnya dalam
pemahaman pidato.
1.4.
Teori dan Metode
Menganalisis pidato
itu bertujuan memahami makna dan tujuannya. Menganalisis pidato merupakan usaha
menangkap dan memberi makna kepada teks pidato. Karya sastra itu merupakan
struktur yang bermakna dan merupakan sistem tanda yang mempunyai makna bermediumkan
bahasa. Bahasa pidato di sini sebagai medium karya sastra sudah merupakan
sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra
bukanlah bahan yang bebas nilai (netral). Teori yang digunakan dalam analisis
makalah ini menggunakan teori hermeneutik.
Teori
Penafsiran Kitab Suci
Pengertian tertua,
dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika
sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang
bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era
modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran
Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan
metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya
(hermeneutik) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan
kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.
Di Inggris, dan
nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti kecenderungan umum
yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama, setidaknya yang
terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737, yakni
“mengambil kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan
tugas-tugas yang adil dan hermeneutika yang bijaksana.”
Ketika penggunaan
kata hermeneutika meluas pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks tersebut
sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk
mengerti makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci
dirumuskan oleh Edward Burnett Taylor pada Primitive
Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak
rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-mitologi.” Dengan
demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika
pada bidang-bidang non kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang
memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan
penafsiran khusus untuk menangkap makna tersebut.
Tanpa bermaksud
untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada
kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan
“sistem” penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu
yang telah diakui bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam
bentuk prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks
tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada teks itu sendiri, karena hal
tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh
semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman
Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat
nilai-nilai moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika
adalah cara ataupun metode sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di
dalam teks.
Dengan demikian, di
dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus pada satu
fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi di
balik fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomena yang ingin
dianalisis, hermeneutik dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara
epistemologis maupun ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian
yang lebih dalam tentang cara manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan
“dunianya”.
LAMPIRAN
Terjemahan
Isi Teks Pidato Pelantikan Umar bin Khattab
Sesudah mengucapkan Hamdalah dan shalawat kepada nabi,
dan setelah menyebut tentang Abu Bakar serta jasanya, Umar berkata:
Saudara-saudara!! Saya hanyalah salah seorang dari
kalian.
Kalau tidak
karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu Bakar) saya pun akan
enggan memikul tanggung jawab ini.
Dia mengucapkan kata-kata tersebut dengan rasa haru,
dengan rendah hati dan sangat berhati-hati. Kemudian umar menengadahkan
tangannya secara berkata:
Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka
lunakkanlah hatiku!
Allahumma ya Allah, saya sangat lemah maka berilah
kekuatan!
Allahumma ya
Allah, aku ini kikir maka jadikanlah aku orang yang dermawan dan bermurah hati!
Umar berhenti sejenak, hingga orang-orang tenang kembali
dan melanjutkan:
Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya
dengan kalian.
Sepeninggal sahabatku, sekarang saya berada di tengah-tengah
kalian.
Tak ada
persoalan kalian yang saya harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain
selain saya.
Dan tak ada yang tak hadir disini lalu meninggalkan
perbuatan terpuji dan amanat.
Kalau mereka
berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan,
terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis
Hermeneutik Dalam Pidato Pelantikan Umar bin Khattab
Untuk konkretisasi
makna pidato dapat diusahakan dengan pembacaan hermeneutik. Pada umumnya bahasa
pidato tidak menyimpang dari penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu, jika dalam
pembacaan ini ada sebuah makna yang tidak jelas, maka semua yang tidak biasa
harus dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif.
Pembacaan
Hermeneutik
Pembacaan hermeneutik
adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini
adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra Islam (pidato). Pidato ini
menunjukkan suatu peristiwa pelantikan Umar bin Khattab sebagai khalifah
menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Wajah Umar bin
Khattab terlihat murung. Ekspresinya menggambarkan seseorang yang terkena
musibah dan menanggung beban amat berat. Hari itu adalah hari pengangkatannya
sebagai khalifah, menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq yang telah wafat. Tidak
terlihat wajah kegembiraan terkait terpilihnya dia sebagai khalifah. Itu
terlihat dari pidato awal setelah menerima baiat pengangkatannya:
"Hai umat Muhammad!
Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Seandainya tidaklah didorong oleh
harapan bahwa saya menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang
terkuat bagi kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan
kalian, tidaklah saya menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu
datangnya saat perhitungan."
Pikiran Umar
benar-benar tertuju pada kalimat yang akan ditanyakan Allah kepadanya nanti di
hari perhitungan dan jawaban yang akan dia ucapkan kepada Ilahi. Baginya, kehormatan
tidak terletak pada pangkat atau kedudukan, tapi pada keberhasilan merebut
keridlaan Allah. Harapan yang dinanti-nanti oleh Umar adalah pengampuan dari
Allah. Jabatan, kekuasaan, ketenaran, pengaruh, kesenangan dan kemewahan yang
ada di sekitarnya, dianggapnya sebagai ujian. Ia senantiasa memohon kepada
Allah agar dapat melaluinya dengan baik dan selamat.
Bait
Pertama
Dalam bait pertama ini diterangkan tentang keadaan sosok
Umar yang bersahaja. Meskipun Nabi dan sahabat menyanjungnya, Umar tetap bersikap
rendah hati dan senantiasa takut. Saudara-saudara!!
Saya hanyalah salah seorang dari kalian merupakan pilihan kata-kata yang
digunakan oleh Umar untuk menggambarkan bahwa tidak ada keutamaan yang membuat
dirinya melebihi sahabat-sahabat yang lain pada masa itu.
Bait
Kedua
Bait kedua menggambarkan tentang tidak ada yang lebih
membebani pikiran Umar selain bagaimana melaksanakan amanah kepemimpinan ini
dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak. Suatu pemandangan yang
tidak biasa kita lihat bahwa ada seseorang yang terpilih menjadi penguasa,
namun merasa ketakutan dan bersedih. Pilihan kata Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu
Bakar) saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini sengaja dipakai oleh
Umar untuk penegasan.
Bait
Ketiga
Allahumma
ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Bait ini mau menegaskan tentang sikap Umar yang keras,
kejam dan kasar pada orang-orang kafir dalam melakukan sesuatu yang benar. Namun,
dia bermunajat agar Allah menjadikannya lemah lembut pada orang-orang muslim.
Bait
Keempat
Allahumma
ya Allah, saya sangat lemah maka berilah kekuatan! Bait ini menggambarkan tentang posisi Umar yang lemah
sebagai manusia karena pada hakikatnya segala daya dan upaya hanya milik Allah
semata. Oleh karena itu, dia meminta kepada Allah agar diberikan kekuatan agar
dapat memimpin Islam dengan adil dan bijaksana menuju kejayaan dan kemakmuran.
Bait
Kelima
Allahumma
ya Allah, aku ini kikir maka jadikanlah aku orang yang dermawan dan bermurah
hati!. Bait ini menggambarkan Umar
yang bermunajat kepada Allah agar menjadikan dia murah hati dan dermawan pada
jalan Allah, tanpa berlebih-lebihan, ria dan disebut-sebut.
Bait
Keenam
Allah
telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Bait keenam ini menggambarkan tentang perjalanan masa
perjuangan Islam bersama Umar. Sebagai contoh adalah proses ke-Islaman Umar.
Ketika itu dirinya bermaksud menemui Nabi Muhammad SAW untuk membuat
perhitungan. Di tengah perjalanan, seorang sahabat mencegahnya dan meminta
dirinya pulang. Sebab, adik perempuan Umar diketahui sudah memeluk agama Islam.
Mendengar perkataan itu, Umar marah mendengarnya. Dia
pulang ke rumah dan menjumpai adik perempuannya yang ketakutan melihat
kedatangan kakaknya. Umar berusaha mengetahui apa yang disembunyikan adiknya.
Terjadi pertengkaran, tangan Umar menampar adiknya sampai berdarah.
Kericuhan itu tidak lama berlangsung. Umar sadar telah
melakukan kesalahan besar yang tidak pantas dilakukan seorang lelaki. Dia
akhirnya menuruti keinginan adiknya berwudhu. Lantunan surat Thoha menyentuh
relung kalbu keimanan Umar. Sejak itu, dirinya resmi masuk agama Islam.
Rasulullah menghadiahi Umar gelar “Al
faruq” (pembeda yang hak dan yang batil).
Bait
Ketujuh
Sepeninggal
sahabatku, sekarang saya berada di tengah-tengah kalian. Bait ini menjelaskan posisi Umar sebagai salah satu
sahabat Rasulullah yang masih hidup sepeninggalan khalifah sekaligus sahabat
yang telah wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq. Sebuah pengukuhan oleh umat pada masa
itu bahwa tongkat estafet kepemimpinan khilafah telah diterima oleh Umar.
Bait
Kedelapan, kesembilan dan kesepuluh
Tak
ada persoalan kalian yang saya harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang
lain selain saya. Dan tak ada yang tak hadir disini lalu
meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya
balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan, terimalah bencana yang
akan saya timpakan kepada mereka. Penulis menggabungkan ketiga bait
terakhir ini agar bisa ditafsirkan secara tepat dilihat dari konteks pidato
pada masa itu. Kronologis kejadian pembaiatan adalah sebagai berikut:
Setelah selesai menunaikan tugasnya yang terakhir
terhadap Abu Bakar, Umar bin Khattab keluar dari liang lahat di rumah Aisyah. Setelah
memberi salam kepada sahabat-sahabatnya, dia kembali pulang ke rumahnya lewat
tengah malam. Sesampainya di rumah, di atas pembaringan dia terus berpikir apa
yang akan dilakukannya besok pagi.
Besok masyarakat akan membaiatnya untuk tugas mengurus
mereka. Ia akan menghadapi mereka yang menyetujui pencalonannya karena
terpaksa, lalu menghadapi situasi perang yang amat pelik di Irak, dan di Syam.
Kemudian apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi di dua daerah ini,
sementara dua tempat tersebut merupakan kawasan yang paling berbahaya dalam
sejarah kedaulatan Islam yang baru tumbuh.
Posisi pasukan muslimin yang dikirim Abu Bakar ke Irak
dan Syam ketika itu memang sangat sulit. Kekuatan pasukan muslimin di Syam
sudah tak berdaya lagi berhadapan dengan pasukan Romawi. Abu Bakar ingin
menyelamatkan dengan mengirim Khalid bin Walid bersama sejumlah personel dari
pasukan yang ada di Irak. Tapi masalah lain yang muncul setelah keberangkatan
Khalid dan sebagian pasukannya ke Syam adalah melemahnya kekuatan Muslimin di
Irak. Musanna bin Harisah asy-Syaibani dengan segala kemahiran dan
kemampuannya, tidak dapat mempertahankan apa yang sudah diperoleh muslimin di
daerah Sawad, Irak.
Bagaimana Umar harus menghadapi semua masalah rumit ini?
Pertanyaan inilah yang terus mengusik pikirannya malam itu, dengan memohon
kepada Allah agar diberi kemudahan dan menunjuki jalan yang benar. Malam itu
Umar cukup lelah memikirkan masalah itu. Paginya dia menemui orang-orang di
masjid. Kaum muslimin menyambutnya dan siap untuk membaiatnya. Kesiapan yang
membuat gejolak hatinya terasa lebih tentram. Ketika waktu Dzuhur telah tiba
dan orang sudah berdatangan untuk melaksanakan shalat, Umar kemudian naik ke
mimbar. Sesudah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Nabi dan menyebut nama
Abu Bakar serta semua jasa-jasanya, ia lalu berpidato.
Setelah selesai berpidato, Umar turun dari mimbar dan
mengimani shalat. Selesai shalat, dia menghadap para jama’ah dan mengumumkan
mobilisasi ke Irak dengan Musanna. Disebutkan juga wasiat Abu Bakar mengenai
hal ini. Mendengar seruan itu, mereka saling berpandangan satu sama lain, tapi
tidak ada yang menyambut seruan itu. Seolah mereka teringat apa yang menimpa
saudara mereka di Syam, mereka tak ingin hal serupa terjadi pada diri mereka.
Merasa tidak digubris, Umar kemudian berseru lagi,
“Kaum muslimin
sekalian, mengapa kalian tidak menjawab seruan Khalifah yang mengajak kalian
untuk hal-hal yang akan menghidupkan iman kalian.”
Setelah itu barulah kaum muslimin sadar dan memenuhi
seruan sang Khalifah. Beberapa hari kemudian diberangkatkanlah pasukan dalam
jumlah besar untuk menghadapi Heraklius dan pasukannya. Termasuk di antara
pasukan itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah, Amr bin As, Yazib bin Abi Sufyan, dan
beberapa orang sahabat dan juga diikuti para ‘amir dan pahlawan dari dari
segenap penjuru semenanjung.
Pada saat waktu Ashar tiba dan kaum muslimin telah
menunaikan shalat, mereka kembali berkumpul untuk mendengarkan keputusan sang
Khalifah, maka sore itu Umar memobilisasi pasukan untuk diberangkatkan bersama
Musanna. Setelah berpidato yang menggugah hati, Umar kemudian mempersilakan
juga Musanna untuk berpidato,
“Saudara-saudara!
Jangan takut menghadapi wajah mereka. Kami sudah menjelajahi Desa Persia dan
kami dapat mengalahkan mereka di kanan kiri Sawad, kami hadapi dan kami
hancurkan mereka. Jadi yang sebelum kita sudah mempunyai keberanian menghadapi
mereka, maka yang sesudahnya juga akan demikian. ”
Setelah meyimak kata-kata Umar dan Musanna, kaum muslimin
lalu bersemangat berangkat ke medan jihad demi menghidupkan agama Allah di muka
bumi ini. Oleh karena itu, ketiga bait terakhir dari pidato Umar dapat
ditafsirkan sebagai himbauan serta ajakan seorang pemimpin khilafah dalam
menegakkan Islam di bumi Allah pada masa itu.
BAB III
PENUTUP
Hermeneutika
sebagai metode dalam Islam muncul ketika wilayah politik Islam meluas dan
dibutuhkan penafsiran terutama hukum terhadap teks-teks agama. Di sinilah
mereka mulai berpikir metode. Awalnya, sekedar metode sastra, kemudian meluas
menjadi metode hukum melalui perumusan jenis-jenis ungkapan dalam Alquran dan
pembagian-pembagian pengambilan hukum (istinbath) oleh Imam Asy-Syafi’î.
Dari hasil
penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil simpulan bahwa
wacana pidato umumnya merupakan bentuk wacana persuasif. Wacana pidato dapat
diklasifikasikan tidak hanya dalam wacana persuasif tetapi juga ke dalam wacana
naratif. Wacana pidato terdiri dari atas tiga bagian, yaitu pembuka, isi, dan
penutup. Wacana pidato yang disampaikan Umar bin Khattab ini bisa dikatakan
kohesif dan koheren. Unsur-unsur penanda kohesi yang muncul dalam wacana ini
adalah referensi, substitusi, konjungsi, dan perulangan leksikal.
Secara keseluruhan,
dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutik memang dapat diterapkan dalam
interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutik tidak lagi hanya
diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran
hermeneutik mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan
tiga varian hermeneutik (tradisional, dialektik, dan ontologis).
DAFTAR PUSTAKA
Lesmana, Maman. 2010. Kritik
Sastra Arab dan Islam. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Taufiqsuryo. 2009. taufiqsuryo.wordpress.com. Pidato Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Diakses pada tanggal 10 Desember 2012.
Wattimena, Reza A. 2009. kuliahfilsafat.blogspot.com. Definisi Hermeneutika. Diakses pada
tanggal 11 Desember 2012.
Ibrahim, Abdul Ayukur. 1993. Kapita
Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha Nasional.
Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutik Al-Qur’an: Tema-tema
Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ
Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1978. Keutuhan Wacana. Dalam Bahasa dan Sastra. Tahun IV No.1. Jakarta:
PPPB.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (cetakan keempat). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar