Ganbatte!!

"Ikatlah ilmu dengan menulis." #Ali bin Abi Thalib

Senin, 04 Maret 2013

Analisis Hermeneutik Teks Pidato Pelantikan Umar bin Khattab




ABSTRAK
         

Pidato merupakan salah satu bentuk komunikasi. Pidato kenegaraan biasanya menunjukkan ciri-ciri khusus sebagai wacana persuasif. Hal ini dapat dilihat dari adanya penggunaan kata-kata yang bersifat memengaruhi dan mengajak pendengarnya untuk melakukan apa yang dikatakan. Selain itu, pidato adalah salah satu metode untuk melakukan propaganda, menghimbau, melarang kepada khalayak agar mengikuti alur pemikiran orang yang berpidato tersebut. Proses mempengaruhi pendengar sehingga secara emosi bisa tertarik bahkan bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh pembicara. Hal seperti inilah yang dinamakan persuasi atau proses membujuk pikiran orang lain kearah pemikiran pembicara atau penulis.
            Salah satu peranan persuasi di dalam penelitian ini untuk mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi di dalam teks pidato khususnya pidato pelantikannya Umar bin Khattab dalam proses persuasi yang dilihat dari beberapa sudut pandang.
            Dari uraian di atas peneliti ingin mengungkap dan mengurai lebih detail terhadap faktor-faktor yang saling memberi peranan terhadap teks, pembaca atau reader sekaligus pembuat teks itu sendiri. Lebih sepesifik yang dibahas hanya teks pidato pelantikannya Umar bin Khattab pada tahun 634.


Kata Kunci : analisis, pidato, hermeneutik


“Seandainya ada seorang Nabi setelahku,
tentulah Umar bin Khattab orangnya.”
(Hadis Riwayat Tirmidzi)


  

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah

Pada masa awal Islam, prosa menempati posisi yang utama, karena cocok untuk dakwah Islam. Pidato lebih berkembang dibandingkan dengan jenis prosa lainnya pada masa itu, karena dianggap sebagai model dakwah agama yang baru, mendorong untuk berjuang di jalan Allah, mengambil tema masalah-masalah sosial dan digunakan dalam shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha. (Lesmana, 2010:205).
Hermeneutik menurut pandangan kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermeneutik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik.
Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.
Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutik dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Dalam makalah ini, penulis mengambil salah satu karya sastra Islam dari pidato Umar bin Khattab, yakni pidato pelantikannya ketika menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar. Umar bin Khattab (581 - November 644) (bahasa Arab: عمر ابن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang juga khalifah kedua Islam (634-644). Umar juga merupakan satu di antara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk (Khulafaur Rasyidin).
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk untuk menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua dalam sejarah Islam. Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Saat itu ada dua negara adidaya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, hal yang menjadi objek permasalahan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
·         Analisis dan pembacaan hermeneutik dalam pidato pelantikan Umar bin Khattab (dilihat pula unsur ketidaklangsungan dan kontekstual pidatonya).

1.3. Tujuan

Sesuai dengan uraian di atas, analisis atau kajian ini memiliki tujuan teoretis dan praktis yaitu sebagai berikut:
1.      Tujuan teoretis
Analisis ini bertujuan bagi perkembangan ilmu sastra Islam di Indonesia umumnya dalam pemahaman pidato dan penerapan teori sastra untuk keperluan ilmiah, dan secara khusus penerapan teori hermeneutik dalam menganalisis pidato. Teori ini perlu dikembangkan dalam analisis pidato karena memiliki kemampuan yang cukup mumpuni untuk memahami unsur-unsur dan makna pidato.
2.      Tujuan praktis
Analisis ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa di universitas dalam memahami karya sastra Islam, khususnya dalam pemahaman pidato.

1.4. Teori dan Metode

Menganalisis pidato itu bertujuan memahami makna dan tujuannya. Menganalisis pidato merupakan usaha menangkap dan memberi makna kepada teks pidato. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna dan merupakan sistem tanda yang mempunyai makna bermediumkan bahasa. Bahasa pidato di sini sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas nilai (netral). Teori yang digunakan dalam analisis makalah ini menggunakan teori hermeneutik.

Teori Penafsiran Kitab Suci

Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutik) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.
Di Inggris, dan nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti kecenderungan umum yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama, setidaknya yang terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737, yakni “mengambil kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan tugas-tugas yang adil dan hermeneutika yang bijaksana.”
Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks tersebut sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh Edward Burnett Taylor pada Primitive Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-mitologi.” Dengan demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika pada bidang-bidang non kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus untuk menangkap makna tersebut.
Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan “sistem” penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.
Dengan demikian, di dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus pada satu fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi di balik fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomena yang ingin dianalisis, hermeneutik dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara epistemologis maupun ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian yang lebih dalam tentang cara manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan “dunianya”.

  

LAMPIRAN


Terjemahan Isi Teks Pidato Pelantikan Umar bin Khattab


Sesudah mengucapkan Hamdalah dan shalawat kepada nabi, dan setelah menyebut tentang Abu Bakar serta jasanya, Umar berkata:

Saudara-saudara!! Saya hanyalah salah seorang dari kalian.

Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu Bakar) saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini.

Dia mengucapkan kata-kata tersebut dengan rasa haru, dengan rendah hati dan sangat berhati-hati. Kemudian umar menengadahkan tangannya secara berkata:

Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku!

Allahumma ya Allah, saya sangat lemah maka berilah kekuatan!

Allahumma ya Allah, aku ini kikir maka jadikanlah aku orang yang dermawan dan bermurah hati!

Umar berhenti sejenak, hingga orang-orang tenang kembali dan  melanjutkan:

Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian.

Sepeninggal sahabatku, sekarang saya berada di tengah-tengah kalian.

Tak ada persoalan kalian yang saya harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya.

Dan tak ada yang tak hadir disini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat.

Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan, terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka.


  
BAB  II
PEMBAHASAN


Analisis Hermeneutik Dalam Pidato Pelantikan Umar bin Khattab

Untuk konkretisasi makna pidato dapat diusahakan dengan pembacaan hermeneutik. Pada umumnya bahasa pidato tidak menyimpang dari penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu, jika dalam pembacaan ini ada sebuah makna yang tidak jelas, maka semua yang tidak biasa harus dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif.

Pembacaan Hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra Islam (pidato). Pidato ini menunjukkan suatu peristiwa pelantikan Umar bin Khattab sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Wajah Umar bin Khattab terlihat murung. Ekspresinya menggambarkan seseorang yang terkena musibah dan menanggung beban amat berat. Hari itu adalah hari pengangkatannya sebagai khalifah, menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq yang telah wafat. Tidak terlihat wajah kegembiraan terkait terpilihnya dia sebagai khalifah. Itu terlihat dari pidato awal setelah menerima baiat pengangkatannya:

"Hai umat Muhammad! Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang terkuat bagi kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan."

Pikiran Umar benar-benar tertuju pada kalimat yang akan ditanyakan Allah kepadanya nanti di hari perhitungan dan jawaban yang akan dia ucapkan kepada Ilahi. Baginya, kehormatan tidak terletak pada pangkat atau kedudukan, tapi pada keberhasilan merebut keridlaan Allah. Harapan yang dinanti-nanti oleh Umar adalah pengampuan dari Allah. Jabatan, kekuasaan, ketenaran, pengaruh, kesenangan dan kemewahan yang ada di sekitarnya, dianggapnya sebagai ujian. Ia senantiasa memohon kepada Allah agar dapat melaluinya dengan baik dan selamat.

Bait Pertama
Dalam bait pertama ini diterangkan tentang keadaan sosok Umar yang bersahaja. Meskipun Nabi dan sahabat menyanjungnya, Umar tetap bersikap rendah hati dan senantiasa takut. Saudara-saudara!! Saya hanyalah salah seorang dari kalian merupakan pilihan kata-kata yang digunakan oleh Umar untuk menggambarkan bahwa tidak ada keutamaan yang membuat dirinya melebihi sahabat-sahabat yang lain pada masa itu.

Bait Kedua
Bait kedua menggambarkan tentang tidak ada yang lebih membebani pikiran Umar selain bagaimana melaksanakan amanah kepemimpinan ini dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak. Suatu pemandangan yang tidak biasa kita lihat bahwa ada seseorang yang terpilih menjadi penguasa, namun merasa ketakutan dan bersedih. Pilihan kata Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu Bakar) saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini sengaja dipakai oleh Umar untuk penegasan.

Bait Ketiga
Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Bait ini mau menegaskan tentang sikap Umar yang keras, kejam dan kasar pada orang-orang kafir dalam melakukan sesuatu yang benar. Namun, dia bermunajat agar Allah menjadikannya lemah lembut pada orang-orang muslim.

Bait Keempat   
Allahumma ya Allah, saya sangat lemah maka berilah kekuatan! Bait ini menggambarkan tentang posisi Umar yang lemah sebagai manusia karena pada hakikatnya segala daya dan upaya hanya milik Allah semata. Oleh karena itu, dia meminta kepada Allah agar diberikan kekuatan agar dapat memimpin Islam dengan adil dan bijaksana menuju kejayaan dan kemakmuran.

Bait Kelima
Allahumma ya Allah, aku ini kikir maka jadikanlah aku orang yang dermawan dan bermurah hati!. Bait ini menggambarkan Umar yang bermunajat kepada Allah agar menjadikan dia murah hati dan dermawan pada jalan Allah, tanpa berlebih-lebihan, ria dan disebut-sebut.

Bait Keenam
Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Bait keenam ini menggambarkan tentang perjalanan masa perjuangan Islam bersama Umar. Sebagai contoh adalah proses ke-Islaman Umar. Ketika itu dirinya bermaksud menemui Nabi Muhammad SAW untuk membuat perhitungan. Di tengah perjalanan, seorang sahabat mencegahnya dan meminta dirinya pulang. Sebab, adik perempuan Umar diketahui sudah memeluk agama Islam.

Mendengar perkataan itu, Umar marah mendengarnya. Dia pulang ke rumah dan menjumpai adik perempuannya yang ketakutan melihat kedatangan kakaknya. Umar berusaha mengetahui apa yang disembunyikan adiknya. Terjadi pertengkaran, tangan Umar menampar adiknya sampai berdarah.

Kericuhan itu tidak lama berlangsung. Umar sadar telah melakukan kesalahan besar yang tidak pantas dilakukan seorang lelaki. Dia akhirnya menuruti keinginan adiknya berwudhu. Lantunan surat Thoha menyentuh relung kalbu keimanan Umar. Sejak itu, dirinya resmi masuk agama Islam. Rasulullah menghadiahi Umar gelar “Al faruq” (pembeda yang hak dan yang batil).

Bait Ketujuh
Sepeninggal sahabatku, sekarang saya berada di tengah-tengah kalian. Bait ini menjelaskan posisi Umar sebagai salah satu sahabat Rasulullah yang masih hidup sepeninggalan khalifah sekaligus sahabat yang telah wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq. Sebuah pengukuhan oleh umat pada masa itu bahwa tongkat estafet kepemimpinan khilafah telah diterima oleh Umar.

Bait Kedelapan, kesembilan dan kesepuluh
Tak ada persoalan kalian yang saya harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya. Dan tak ada yang tak hadir disini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan, terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka. Penulis menggabungkan ketiga bait terakhir ini agar bisa ditafsirkan secara tepat dilihat dari konteks pidato pada masa itu. Kronologis kejadian pembaiatan adalah sebagai berikut:

Setelah selesai menunaikan tugasnya yang terakhir terhadap Abu Bakar, Umar bin Khattab keluar dari liang lahat di rumah Aisyah. Setelah memberi salam kepada sahabat-sahabatnya, dia kembali pulang ke rumahnya lewat tengah malam. Sesampainya di rumah, di atas pembaringan dia terus berpikir apa yang akan dilakukannya besok pagi.

Besok masyarakat akan membaiatnya untuk tugas mengurus mereka. Ia akan menghadapi mereka yang menyetujui pencalonannya karena terpaksa, lalu menghadapi situasi perang yang amat pelik di Irak, dan di Syam. Kemudian apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi di dua daerah ini, sementara dua tempat tersebut merupakan kawasan yang paling berbahaya dalam sejarah kedaulatan Islam yang baru tumbuh.

Posisi pasukan muslimin yang dikirim Abu Bakar ke Irak dan Syam ketika itu memang sangat sulit. Kekuatan pasukan muslimin di Syam sudah tak berdaya lagi berhadapan dengan pasukan Romawi. Abu Bakar ingin menyelamatkan dengan mengirim Khalid bin Walid bersama sejumlah personel dari pasukan yang ada di Irak. Tapi masalah lain yang muncul setelah keberangkatan Khalid dan sebagian pasukannya ke Syam adalah melemahnya kekuatan Muslimin di Irak. Musanna bin Harisah asy-Syaibani dengan segala kemahiran dan kemampuannya, tidak dapat mempertahankan apa yang sudah diperoleh muslimin di daerah  Sawad, Irak.

Bagaimana Umar harus menghadapi semua masalah rumit ini? Pertanyaan inilah yang terus mengusik pikirannya malam itu, dengan memohon kepada Allah agar diberi kemudahan dan menunjuki jalan yang benar. Malam itu Umar cukup lelah memikirkan masalah itu. Paginya dia menemui orang-orang di masjid. Kaum muslimin menyambutnya dan siap untuk membaiatnya. Kesiapan yang membuat gejolak hatinya terasa lebih tentram. Ketika waktu Dzuhur telah tiba dan orang sudah berdatangan untuk melaksanakan shalat, Umar kemudian naik ke mimbar. Sesudah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Nabi dan menyebut nama Abu Bakar serta semua jasa-jasanya, ia lalu berpidato.

Setelah selesai berpidato, Umar turun dari mimbar dan mengimani shalat. Selesai shalat, dia menghadap para jama’ah dan mengumumkan mobilisasi ke Irak dengan Musanna. Disebutkan juga wasiat Abu Bakar mengenai hal ini. Mendengar seruan itu, mereka saling berpandangan satu sama lain, tapi tidak ada yang menyambut seruan itu. Seolah mereka teringat apa yang menimpa saudara mereka di Syam, mereka tak ingin hal serupa terjadi pada diri mereka. Merasa tidak digubris, Umar kemudian berseru lagi,

Kaum muslimin sekalian, mengapa kalian tidak menjawab seruan Khalifah yang mengajak kalian untuk hal-hal yang akan menghidupkan iman kalian.

Setelah itu barulah kaum muslimin sadar dan memenuhi seruan sang Khalifah. Beberapa hari kemudian diberangkatkanlah pasukan dalam jumlah besar untuk menghadapi Heraklius dan pasukannya. Termasuk di antara pasukan itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah, Amr bin As, Yazib bin Abi Sufyan, dan beberapa orang sahabat dan juga diikuti para ‘amir dan pahlawan dari dari segenap penjuru semenanjung.

Pada saat waktu Ashar tiba dan kaum muslimin telah menunaikan shalat, mereka kembali berkumpul untuk mendengarkan keputusan sang Khalifah, maka sore itu Umar memobilisasi pasukan untuk diberangkatkan bersama Musanna. Setelah berpidato yang menggugah hati, Umar kemudian mempersilakan juga Musanna untuk berpidato,

Saudara-saudara! Jangan takut menghadapi wajah mereka. Kami sudah menjelajahi Desa Persia dan kami dapat mengalahkan mereka di kanan kiri Sawad, kami hadapi dan kami hancurkan mereka. Jadi yang sebelum kita sudah mempunyai keberanian menghadapi mereka, maka yang sesudahnya juga akan demikian.

Setelah meyimak kata-kata Umar dan Musanna, kaum muslimin lalu bersemangat berangkat ke medan jihad demi menghidupkan agama Allah di muka bumi ini. Oleh karena itu, ketiga bait terakhir dari pidato Umar dapat ditafsirkan sebagai himbauan serta ajakan seorang pemimpin khilafah dalam menegakkan Islam di bumi Allah pada masa itu.


  
BAB  III
PENUTUP


            Hermeneutika sebagai metode dalam Islam muncul ketika wilayah politik Islam meluas dan dibutuhkan penafsiran terutama hukum terhadap teks-teks agama. Di sinilah mereka mulai berpikir metode. Awalnya, sekedar metode sastra, kemudian meluas menjadi metode hukum melalui perumusan jenis-jenis ungkapan dalam Alquran dan pembagian-pembagian pengambilan hukum (istinbath) oleh Imam Asy-Syafi’î.
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil simpulan bahwa wacana pidato umumnya merupakan bentuk wacana persuasif. Wacana pidato dapat diklasifikasikan tidak hanya dalam wacana persuasif tetapi juga ke dalam wacana naratif. Wacana pidato terdiri dari atas tiga bagian, yaitu pembuka, isi, dan penutup. Wacana pidato yang disampaikan Umar bin Khattab ini bisa dikatakan kohesif dan koheren. Unsur-unsur penanda kohesi yang muncul dalam wacana ini adalah referensi, substitusi, konjungsi, dan perulangan leksikal.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutik memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutik tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutik mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan tiga varian hermeneutik (tradisional, dialektik, dan ontologis).

  
  

DAFTAR PUSTAKA


Lesmana, Maman. 2010. Kritik Sastra Arab dan Islam. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Taufiqsuryo. 2009. taufiqsuryo.wordpress.com. Pidato Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Diakses pada tanggal 10 Desember 2012.
Wattimena, Reza A. 2009. kuliahfilsafat.blogspot.com. Definisi Hermeneutika. Diakses pada tanggal 11 Desember 2012.
Ibrahim, Abdul Ayukur. 1993.  Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha Nasional.
Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutik Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta:  eLSAQ Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1978. Keutuhan Wacana. Dalam Bahasa dan Sastra. Tahun IV No.1. Jakarta: PPPB.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya  (cetakan keempat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar