PERAN MEDIA MASSA DI INDONESIA SEBAGAI PUBLIC SPHERE
BAB I
PENDAHULUAN
Pembahasan public sphere pertama kali dibahas oleh
Jurgen Habermas, generasi kedua dari Frankfurt School atau Mazhab Frankfurt.
Menurutnya, public sphere merupakan
suatu arena atau ruang di mana terdapat kebebasan dari intervensi, dan
orang-orang yang ada di dalamnya terbebas dari ikatan atau pengaruh luar,
terutama dari negara dan pemerintah. Habermas melakukan penelitian di berbagai
tempat yang memang memiliki ruang publik, seperti di kafe-kafe di Jerman. Habermas
(1997: 105) menyebutkan kriteria public
sphere sebagai berikut:
“A domain of our
social life where such a thing as public opinion can be formed (where)
citizens… deal with matters of general interest without being subjected to
coercion… (to) express and publicize their views.”
Jika dahulu
Habermas mencontohkan praktek konkret public
sphere dapat kita lihat di kafe, maka kemunculan media massa seperti surat
kabar, majalah, radio, dan televisi, maka peran mereka menurut John Hartley
(1992) telah tergantikan oleh media massa.
Ide Habermas ini
kemudian dibahas oleh pakar-pakar komunikasi. Sehingga muncul pertanyaan dalam
benak penulis, “Mungkinkah media massa
di Indonesia berperan sebagai public
sphere?” Adalah William Gamson dan Andrew Madigliani, pakar komunikasi,
yang mengembangkan ide tentang media massa sebagai public sphere. Menurut Gamson dan Madigliani, selama ini media
massa dijadikan oleh berbagai kelompok kepentingan untuk tempat konflik, bahwa
pendapat atau gagasan suatu kelompok tertentu lebih baik dari kelompok lainnya.
Misalnya, tentang sulit
rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah public sphere yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik dan
bebas dari bias kepentingan. Hal ini dikarenakan media massa sangat bergantung
pada para pemilik modal dan kecenderungan pemilik modal kepada institusi atau
golongan tertentu. Hal ini dapat dicontohkan dengan adanya perang opini melalui
public sphere masing-masing antara TV
One yang dibiayai oleh Aburizal Bakrie dan Metro TV yang dimiliki oleh Surya
Paloh ketika kedua pemodal tersebut sama-sama mencalonkan diri menjadi ketua
umum Partai Golkar. Masing-masing media menyuarakan kepetingan pemiliknya
bahkan tokoh yang diundang dalam diskusi-diskusinya adalah tokoh yang berpihak
kepada masing-masing pemodal.
Berbagai komentar
dari banyak kalangan yang merasa memiliki kepentingan dalam hal ini, menganggap
pendapatnya atau kelompoknya yang paling benar. Semua pendapat itu muncul di
media massa, sehingga semakin membingungkan masyarakat awam. Atau yang lebih
terkini, tentang dualisme kepemimpinan induk olahraga sepakbola di Indonesia
yang ternyata lagi-lagi diberitakan secara berbeda oleh beberapa media.
Oleh karena itu,
media massa harus mampu menjadi public
sphere, di mana masyarakat mendapatkan porsi yang serupa dalam memberikan
komentarnya langsung terhadap suatu permasalahan dalam pemberitaan media massa.
Sebuah media massa harus mewujudkan fungsi public
sphere ini, demi terjaminnya nilai-nilai kebebasan dan netralitas dalam
berpendapat di muka umum.
BAB II
PEMBAHASAN
Idealnya Public
Sphere
Sesuai dengan
kaidah universal, media massa dituntut untuk bebas nilai dan tidak berpihak (impartiality) dalam menyampaikan
pemberitaan. Prinsip ini bertolak dari asumsi mengenai fakta yang menjadi
materi jurnalisme, bahwa setiap fakta sosial selamanya mengandung pihak-pihak
yang berinteraksi.
Sebagai pelaku
profesi yang memproses wacana yang mengisi public
sphere, maka jurnalis adalah seorang intelektual yang memiliki ruang
otonomi dan independensi yang mempribadi. Dia mungkin saja menjadi bagian dari
manajemen sebagai pekerja, buruh atau kuli tinta, tetapi tidak harus kehilangan
otonomi dan independensinya sebagai pekerja kultural yang menyampaikan
informasi kepada masyarakat. Sebagaimana seorang dokter medis yang menjadi
karyawan rumah sakit sebagai institusi bisnis, tetapi dia tidak boleh
kehilangan otonomi dan independensinya sebagai pengabdi kemanusiaan.
Sebagai public sphere, media massa seharusnya
menjadi katalisator dalam menyelesaikan masalah atau pertikaian dalam
masyarakat. Sayangnya, media bukanlah saluran yang bebas. Media merupakan
subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan
pemihakannya.
Di samping itu,
dalam pandangan kritis, media dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi
antar kelompok. Hanya kelompok berideologi dominanlah yang akan tampil dalam
pemberitaan dan menguasai media. Di sini distorsi, misrepresentasi,
miskomunikasi dan misinterpretasi dalam pemberitaan tidak terhindarkan;
termasuk pemberitaan yang dinilai merusak citra suatu kelompok tertentu.
Oleh karena adanya
keberpihakan suatu kelompok inilah, independensi media sebagai sebuah media
massa di dalam publik dipertanyakan. Pemberitaan dalam sebuah media massa pun
pantas untuk diragukan, karena media tersebut atau mungkin big boss dari media tersebut mendukung suatu kelompok, demi untuk
mempertahankan citra kelompok tersebut. Hal ini tak pelak berimbas pada kinerja
dari jurnalisnya sendiri.
Mungkin contoh di
lapangan yang bisa kita lihat adalah posisi suatu media terhadap negara atau
pemerintah. Dalam situasi ini, sebuah media memiliki posisi sebagai regulator
dan advertisor – media sebagai humasnya pemerintah. Kalau pemberitaan negara
banyak muncul di media massa, maka pejabat pemerintahan tersebut dapat meminta
budget yang lebih tinggi lagi untuk kegiatan-kegiatan yang akan mereka
laksanakan. Berarti pemberitaan di media tersebut dapat dijadikan sebagai
ukuran keberhasilan dari kepemerintahan tersebut.
Atau, media yang
selalu memberitakan kinerja positif pemerintahan, tanpa adanya kerberimbangan
dengan pemberitaan seperti kesalahan kebijakan. Sehingga kesan yang dibangun
media tersebut adalah pembentukan citra positif dari pemerintahan. Kesan ini
mungkin saja muncul karena kedekatan hubungan pemilik medianya dengan
pemerintah. Namun secara tidak langsung, ini sudah membentuk opini masyarakat
untuk pro pemerintah.
Pada posisi ini,
keberadaan media massa dapat disikapi dengan dua cara, seperti ditawarkan
Ashadi Siregar. Pertama, media dipandang sebagai pembentuk (moulder) masyarakat; atau kedua, sebagai
cermin (mirror) yang memantulkan
keadaaan masyarakat.
Permasalahan yang
terjadi adalah ternyata kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan public sphere di dalam media massa
adalah sesuatu yang teramat sulit jika tidak mau dikatakan mustahil. Sejumlah
asumsi yang mendasari sulitnya mengharapkan kemunculan public sphere di dalam media massa antara lain adalah masalah
akses. Bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
memiliki akses terhadap media massa itu sendiri. Media massa cenderung
melakukan seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh memiliki akses
terhadap media tersebut.
Ruang yang terbatas
di dalam media massa juga seringkali dijadikan dalih bagi media massa untuk
tidak menyediakan ruangan bagi dunia publik. Ruangan yang dimiliki oleh media
massa mayoritas sudah dirancang oleh program-program media itu sendiri, bahkan
seringkali ruangan tersebut telah dipesan oleh para pengiklan. Jadi tidak
tersisa lagi bagi ruang publik.
Ruangan-ruang media
massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik
media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki
kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.
Habermas (1997:
141-250) sendiri kemudian sempat mengutarakan tentang terjadinya degradasi
public sphere yang salah satunya disebabkan justru oleh praktek media massa,
dan juga ditambah dengan budaya konsumtif. Media massa dianggap berepran dalam
mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif, dan bukan lagi
masyarakat yang logis. Budaya konsumtif telah mengarahkan masyarakt untuk lebih
peduli terhadap konsumerisme daripada politik. Hal ini juga yang menyebabkan
masyarakat seakan makin memberikan tempat bagi kapitalisme untuk ‘menguasai’ praktek
media massa. Media massa menjadi tempat untuk iklan dan promosi barang-barang,
daripada tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi politik yang
penting.
Opini dan Surat Pembaca
Public sphere
adalah keharusan media melayani masyarakat secara menyeluruh dalam proses
produksinya. Seperti jelasnya, secara filosofis media massa berfungsi sebagai public service. Jadi media massa sebagai
public sphere harus melayani
masyarakat akan informasi yang benar dan faktual.
Seperti dijelaskan
di atas, bentuk ideal media massa sebagai public
sphere adalah tidak imparsial dalam pemberitaannya. Melainkan harus
berimbang, meskipun ada kepentingan-kepentingan pemilik modal atau pemerintah
di sana. Jadi pada dasarnya, semua ruang di media massa merupakan bentuk public sphere.
Namun faktanya di
lapangan berbeda dengan bentuk ideal yang seharusnya diwujudkan media massa
sebagai public sphere. Kepentingan
pemilik modal atau pemerintah terkadang turut ikut campur dalam mempengaruhi
pemberitaan sebuah media. Sehingga suara rakyat seperti kurang terfasilitasi dalam
hal ini.
BAB III
PENUTUP
Sebagai sebuah
solusi, akhirnya dibentuk ruang khusus yang menjadi ruang bagi publik dalam
menyuarakan komentarnya terhadap sebuah permasalahan atau suatu kebijakan
pemerintah. Bentuk nyata dari public
sphere ini dalam media massa adalah seperti rubrik opini, dan suara pembaca
atau surat pembaca. Dalam rubrik inilah biasanya suara masyarakat difasilitasi
untuk mendapatkan jawaban dari pihak terkait.
Selain itu,
akhir-akhir ini juga muncul istilah citizen
journalism (jurnalisme warga). Di mana, masyarakat dapat memberitakan
sendiri sebuah peristiwa yang diketahui, yang mungkin saja dalam sudut pandang
pribadinya. Setidaknya, bentuk citizen
journalism ini juga cukup mampu menyuarakan aspirasi dan pendapat khalayak
terhadap permasalahan terkait atau kebijakan pemerintah.
Terlepas dari
solusi untuk bentuk nyata dari public
sphere dalam media massa di Indonesia, pada dasarnya media massa mampu
berperan sebagai public sphere.
Karena cukup banyak bukti nyata media massa yang masih konsisten dengan
idealismenya mengopinikan suara rakyat. Masih ada media massa yang tetap
bertahan dalam kepahitannya sebagai cermin kehidupan masyarakat. Meskipun juga
tidak bisa dipungkiri realita, bahwa masih banyak pula media massa yang tidak
tertutup dari intervensi suatu pihak. Bahkan, ada juga tindakan-tindakan dari
berbagai pihak yang mencoreng peran media massa sebagai public sphere dengan membunuh idealisme seorang jurnalis.
DAFTAR
PUSTAKA
Habermas, Jürgen (German
(1962) English Translation 1997). The Structural Transformation of the
Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge Massachusetts:
The MIT Press.
Idris, Naswil &
Shelton A. Gunaratne. 2000. Handbook of the Media in Asia. California:
Sage Publications.
McKee, Alan. 2005. The Public Sphere: An
Introduction. Cambride: Cambride University.
Severin, Werner J.
dan James W. Tankard, JR. 2005. Teori
Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi 5.
Jakarta: Prenada Media.
Hardiman, Fransisco
Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif.
Yogyakarta: Kanisius.
Defrimardinsyah. 2011.
http://defrimardinsyah.com. Tv One
dimanfaatkan oleh Golkar dan Aburizal Bakrie untuk membodohi masyarakat.
Diakses pada tanggal 10 Desember 2012.
kita juga punya nih jurnal mengenai Media Masa silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6181/1/DOKUMEN%20PRESENTASI.pdf
terima kasih sdh berkunjung. saya telah membaca link d atas... sangat menarik. salute! :)
HapusTerima kasih untuk informasinya, sangat membantu :)
BalasHapushttp://goo.gl/sFOlCK
http://goo.gl/lTbc2h