Ganbatte!!

"Ikatlah ilmu dengan menulis." #Ali bin Abi Thalib

Kamis, 15 November 2012

Peran Media Massa Di Indonesia Sebagai Public Sphere






PERAN MEDIA MASSA DI INDONESIA SEBAGAI PUBLIC SPHERE



BAB I
PENDAHULUAN


Pembahasan public sphere pertama kali dibahas oleh Jurgen Habermas, generasi kedua dari Frankfurt School atau Mazhab Frankfurt. Menurutnya, public sphere merupakan suatu arena atau ruang di mana terdapat kebebasan dari intervensi, dan orang-orang yang ada di dalamnya terbebas dari ikatan atau pengaruh luar, terutama dari negara dan pemerintah. Habermas melakukan penelitian di berbagai tempat yang memang memiliki ruang publik, seperti di kafe-kafe di Jerman. Habermas (1997: 105) menyebutkan kriteria public sphere sebagai berikut:
A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest without being subjected to coercion… (to) express and publicize their views.

Jika dahulu Habermas mencontohkan praktek konkret public sphere dapat kita lihat di kafe, maka kemunculan media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka peran mereka menurut John Hartley (1992) telah tergantikan oleh media massa.


Ide Habermas ini kemudian dibahas oleh pakar-pakar komunikasi. Sehingga muncul pertanyaan dalam benak penulis, “Mungkinkah media massa di Indonesia berperan sebagai public sphere?” Adalah William Gamson dan Andrew Madigliani, pakar komunikasi, yang mengembangkan ide tentang media massa sebagai public sphere. Menurut Gamson dan Madigliani, selama ini media massa dijadikan oleh berbagai kelompok kepentingan untuk tempat konflik, bahwa pendapat atau gagasan suatu kelompok tertentu lebih baik dari kelompok lainnya.

Misalnya, tentang sulit rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah public sphere yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik dan bebas dari bias kepentingan. Hal ini dikarenakan media massa sangat bergantung pada para pemilik modal dan kecenderungan pemilik modal kepada institusi atau golongan tertentu. Hal ini dapat dicontohkan dengan adanya perang opini melalui public sphere masing-masing antara TV One yang dibiayai oleh Aburizal Bakrie dan Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh ketika kedua pemodal tersebut sama-sama mencalonkan diri menjadi ketua umum Partai Golkar. Masing-masing media menyuarakan kepetingan pemiliknya bahkan tokoh yang diundang dalam diskusi-diskusinya adalah tokoh yang berpihak kepada masing-masing pemodal.

Berbagai komentar dari banyak kalangan yang merasa memiliki kepentingan dalam hal ini, menganggap pendapatnya atau kelompoknya yang paling benar. Semua pendapat itu muncul di media massa, sehingga semakin membingungkan masyarakat awam. Atau yang lebih terkini, tentang dualisme kepemimpinan induk olahraga sepakbola di Indonesia yang ternyata lagi-lagi diberitakan secara berbeda oleh beberapa media.

Oleh karena itu, media massa harus mampu menjadi public sphere, di mana masyarakat mendapatkan porsi yang serupa dalam memberikan komentarnya langsung terhadap suatu permasalahan dalam pemberitaan media massa. Sebuah media massa harus mewujudkan fungsi public sphere ini, demi terjaminnya nilai-nilai kebebasan dan netralitas dalam berpendapat di muka umum.



BAB II
PEMBAHASAN


Idealnya Public Sphere

Sesuai dengan kaidah universal, media massa dituntut untuk bebas nilai dan tidak berpihak (impartiality) dalam menyampaikan pemberitaan. Prinsip ini bertolak dari asumsi mengenai fakta yang menjadi materi jurnalisme, bahwa setiap fakta sosial selamanya mengandung pihak-pihak yang berinteraksi.

Sebagai pelaku profesi yang memproses wacana yang mengisi public sphere, maka jurnalis adalah seorang intelektual yang memiliki ruang otonomi dan independensi yang mempribadi. Dia mungkin saja menjadi bagian dari manajemen sebagai pekerja, buruh atau kuli tinta, tetapi tidak harus kehilangan otonomi dan independensinya sebagai pekerja kultural yang menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sebagaimana seorang dokter medis yang menjadi karyawan rumah sakit sebagai institusi bisnis, tetapi dia tidak boleh kehilangan otonomi dan independensinya sebagai pengabdi kemanusiaan.

Sebagai public sphere, media massa seharusnya menjadi katalisator dalam menyelesaikan masalah atau pertikaian dalam masyarakat. Sayangnya, media bukanlah saluran yang bebas. Media merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.

Di samping itu, dalam pandangan kritis, media dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antar kelompok. Hanya kelompok berideologi dominanlah yang akan tampil dalam pemberitaan dan menguasai media. Di sini distorsi, misrepresentasi, miskomunikasi dan misinterpretasi dalam pemberitaan tidak terhindarkan; termasuk pemberitaan yang dinilai merusak citra suatu kelompok tertentu.

Oleh karena adanya keberpihakan suatu kelompok inilah, independensi media sebagai sebuah media massa di dalam publik dipertanyakan. Pemberitaan dalam sebuah media massa pun pantas untuk diragukan, karena media tersebut atau mungkin big boss dari media tersebut mendukung suatu kelompok, demi untuk mempertahankan citra kelompok tersebut. Hal ini tak pelak berimbas pada kinerja dari jurnalisnya sendiri.

Mungkin contoh di lapangan yang bisa kita lihat adalah posisi suatu media terhadap negara atau pemerintah. Dalam situasi ini, sebuah media memiliki posisi sebagai regulator dan advertisor – media sebagai humasnya pemerintah. Kalau pemberitaan negara banyak muncul di media massa, maka pejabat pemerintahan tersebut dapat meminta budget yang lebih tinggi lagi untuk kegiatan-kegiatan yang akan mereka laksanakan. Berarti pemberitaan di media tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan dari kepemerintahan tersebut.

Atau, media yang selalu memberitakan kinerja positif pemerintahan, tanpa adanya kerberimbangan dengan pemberitaan seperti kesalahan kebijakan. Sehingga kesan yang dibangun media tersebut adalah pembentukan citra positif dari pemerintahan. Kesan ini mungkin saja muncul karena kedekatan hubungan pemilik medianya dengan pemerintah. Namun secara tidak langsung, ini sudah membentuk opini masyarakat untuk pro pemerintah.

Pada posisi ini, keberadaan media massa dapat disikapi dengan dua cara, seperti ditawarkan Ashadi Siregar. Pertama, media dipandang sebagai pembentuk (moulder) masyarakat; atau kedua, sebagai cermin (mirror) yang memantulkan keadaaan masyarakat.

Permasalahan yang terjadi adalah ternyata kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan public sphere di dalam media massa adalah sesuatu yang teramat sulit jika tidak mau dikatakan mustahil. Sejumlah asumsi yang mendasari sulitnya mengharapkan kemunculan public sphere di dalam media massa antara lain adalah masalah akses. Bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki akses terhadap media massa itu sendiri. Media massa cenderung melakukan seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh memiliki akses terhadap media tersebut.

Ruang yang terbatas di dalam media massa juga seringkali dijadikan dalih bagi media massa untuk tidak menyediakan ruangan bagi dunia publik. Ruangan yang dimiliki oleh media massa mayoritas sudah dirancang oleh program-program media itu sendiri, bahkan seringkali ruangan tersebut telah dipesan oleh para pengiklan. Jadi tidak tersisa lagi bagi ruang publik.

Ruangan-ruang media massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.

Habermas (1997: 141-250) sendiri kemudian sempat mengutarakan tentang terjadinya degradasi public sphere yang salah satunya disebabkan justru oleh praktek media massa, dan juga ditambah dengan budaya konsumtif. Media massa dianggap berepran dalam mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif, dan bukan lagi masyarakat yang logis. Budaya konsumtif telah mengarahkan masyarakt untuk lebih peduli terhadap konsumerisme daripada politik. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat seakan makin memberikan tempat bagi kapitalisme untuk ‘menguasai’ praktek media massa. Media massa menjadi tempat untuk iklan dan promosi barang-barang, daripada tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi politik yang penting.

Opini dan Surat Pembaca

Public sphere adalah keharusan media melayani masyarakat secara menyeluruh dalam proses produksinya. Seperti jelasnya, secara filosofis media massa berfungsi sebagai public service. Jadi media massa sebagai public sphere harus melayani masyarakat akan informasi yang benar dan faktual.

Seperti dijelaskan di atas, bentuk ideal media massa sebagai public sphere adalah tidak imparsial dalam pemberitaannya. Melainkan harus berimbang, meskipun ada kepentingan-kepentingan pemilik modal atau pemerintah di sana. Jadi pada dasarnya, semua ruang di media massa merupakan bentuk public sphere.

Namun faktanya di lapangan berbeda dengan bentuk ideal yang seharusnya diwujudkan media massa sebagai public sphere. Kepentingan pemilik modal atau pemerintah terkadang turut ikut campur dalam mempengaruhi pemberitaan sebuah media. Sehingga suara rakyat seperti kurang terfasilitasi dalam hal ini.



BAB III
PENUTUP


Sebagai sebuah solusi, akhirnya dibentuk ruang khusus yang menjadi ruang bagi publik dalam menyuarakan komentarnya terhadap sebuah permasalahan atau suatu kebijakan pemerintah. Bentuk nyata dari public sphere ini dalam media massa adalah seperti rubrik opini, dan suara pembaca atau surat pembaca. Dalam rubrik inilah biasanya suara masyarakat difasilitasi untuk mendapatkan jawaban dari pihak terkait.

Selain itu, akhir-akhir ini juga muncul istilah citizen journalism (jurnalisme warga). Di mana, masyarakat dapat memberitakan sendiri sebuah peristiwa yang diketahui, yang mungkin saja dalam sudut pandang pribadinya. Setidaknya, bentuk citizen journalism ini juga cukup mampu menyuarakan aspirasi dan pendapat khalayak terhadap permasalahan terkait atau kebijakan pemerintah.

Terlepas dari solusi untuk bentuk nyata dari public sphere dalam media massa di Indonesia, pada dasarnya media massa mampu berperan sebagai public sphere. Karena cukup banyak bukti nyata media massa yang masih konsisten dengan idealismenya mengopinikan suara rakyat. Masih ada media massa yang tetap bertahan dalam kepahitannya sebagai cermin kehidupan masyarakat. Meskipun juga tidak bisa dipungkiri realita, bahwa masih banyak pula media massa yang tidak tertutup dari intervensi suatu pihak. Bahkan, ada juga tindakan-tindakan dari berbagai pihak yang mencoreng peran media massa sebagai public sphere dengan membunuh idealisme seorang jurnalis.



DAFTAR PUSTAKA


Habermas, Jürgen (German (1962) English Translation 1997). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge Massachusetts: The MIT Press.
Idris, Naswil & Shelton A. Gunaratne. 2000. Handbook of the Media in Asia. California: Sage Publications.
McKee, Alan. 2005. The Public Sphere: An Introduction. Cambride: Cambride University.
Severin, Werner J. dan James W. Tankard, JR. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi 5. Jakarta: Prenada Media.
Hardiman, Fransisco Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.
Defrimardinsyah. 2011. http://defrimardinsyah.com. Tv One dimanfaatkan oleh Golkar dan Aburizal Bakrie untuk membodohi masyarakat. Diakses pada tanggal 10 Desember 2012.

3 komentar:

  1. kita juga punya nih jurnal mengenai Media Masa silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6181/1/DOKUMEN%20PRESENTASI.pdf

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sdh berkunjung. saya telah membaca link d atas... sangat menarik. salute! :)

      Hapus
  2. Terima kasih untuk informasinya, sangat membantu :)
    http://goo.gl/sFOlCK
    http://goo.gl/lTbc2h

    BalasHapus